You Are not My Sibblings karya Indanarizha_
Erdian, dia adalah sepupu laki-lakiku,
dialah yang membuat hari-hari di masa kecilku terasa begitu berwarna. Ia selalu
mengajakku bermain, selalu ada setiap aku membutuhkannya sampai aku mengira
kalau diriku tak mau hidup tanpanya. Tetapi itu dulu, sekarang aku benar benar
membencinya.
“SUDAH CUKUP!! Jika kamu tidak mau
membantu, maka akan ku lakukan sendiri! Ku kira kamu itu baik tapi ternyata tidak!
JANGAN GANGGU AKU LAGI, BODOH!!!” bentakku ke Erdian 2 bulan yang lalu karena
ia tak mau mendukungku dikala aku jatuh cinta dengan seseorang.
Selepas hari itu Erdian tidak
menampakkan wajahnya sama sekali, ibunya mengatakan ia selalu mengurung dirinya
di kamar, hanya keluar jika waktunya makan dan jika ia ingin ke kamar mandi,
selama 2 bulan ia mengunci dirinya bahkan terhadap ibundanya sendiri. Tapi itu
bukan urusanku, aku tidak ingin dia mengganggu kehidupanku lagi.
Dan orang yang kusukai dari dulu adalah
“Rhomad” ucapku pelan sambil tersenyum riang. Entah bagaimana ia bisa mengikat
hati kecilku, ia adalah seorang yang special di mataku layaknya bangsawan,
rambut coklat lurusnya, tinggi 168 cm, golongan darah AB, memakai kacamata
hitam, dan selalu membawa buku tebal kemana-mana, dia juga sangat pintar selalu
mendapat urutan pertama dengan nilai yang hampir sempurna. “Duuuhh...” gumamku
karena terlalu memikirkannya.
Akhir November, kali ini aku akan
menyatakan perasaanku yang telah lama kupendam, aku sudah mempersiapkan semua
dari kemarin. Di sekolah semua teman sekelasku terheran heran kenapa aku senyum-senyum
sendiri, ketika ada yang tanya selalu ku jawab “Nggak kenapa kenapa kok”. Aku
tak ingin memberitahukan kepada siapapun rencana hari ini, bahkan kepada
sahabatku sendiri, Cyra. Walaupun Cyra akan merahasiakannya tetapi aku tidak
ingin seorangpun ikut campur di hari yang sangat mendebarkan ini.
Sore hari keaadan cuaca sedang mendung
gelap, dan aku melihat Rhomad masih di sekolah dan ia sedang baca buku yang
selalu ia bawa kemana mana, sebelum sekolah ditutup aku harus menyatakan
perasaanku kepada Rhomad. Dengan penuh keberanian aku memasuki ruang kelasnya
dan langsung menghampirinya.
“A-Anu, pe-permisi, Rhomad aku ada
se-sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu.” ucapku gugup. Tetapi ia tidak
berbicara sepatah katapun hanya diam hening dan menatapku dengan tatapan bosan.
Tetapi akan kusampaikan saat ini juga perasaanku “Rhomad!” dengan nada sedikit
menyentak agar dia lebih memperhatikanku.
“Sebenarnya aku dari dulu meny-“ belum selesai
aku berkata, dia langsung berbicara dengan tegasnya, “Kamu ini siapa aku tidak
pernah melihat wajahmu?” langsung kujawab walau dengan gemetar disekujur
tubuhku “Aku dari kelas sebela-“ “ohh, kamu ini mendapat peringkat berapa hasil
tes kemarin” tanyanya dengan cepat. “A-Aku di urutan 95” jawabku gugup
bersamaan dengan mendung yang kini berubah menjadi tetesan-tetesan air mata
langit yang berjatuhan dan aku masih saja tidak bisa berkata lantang.
“cih... buang buang waktu saja berbicara
dengan orang yang tingkatannya cuma segitu” dia langsung berdiri dan mengemasi
barangnya. Tetapi aku belum menyerah, kudekati dia dan tak sengaja ujung
telunjukku menyentuh buku yang biasa ia
bawa kemana-mana, “JAUHKAN TANGAN KOTORMU ITU, orang rendahan sepertimu tidak
pantas menyentuh buku ini, buku ini hanya diperuntukan untuk orang yang
setingkat denganku!!” sentaknya dengan penuh penekanan.
Seketika petir menyambar pada
penglihatan dan pikiranku. Betapa kagetnya aku dengan perkataannya, orang yang
selama ini kukagumi ternyata berbeda dengan yang kubayangkan. Spontan aku
melangkah mundur, tanpa sepatah katapun ku berlari meninggalkan kelas itu dan
menutup mata dengan lenganku agar ekspresiku tidak terlihat oleh dia.
Ku terus berlari hingga ke lapangan belakang
sekolah dan melampiaskan semua kejengkelanku di sana. Gerimis kini menjadi
hujan lebat, entah kenapa seketika aku teringat sepupuku diwaktu seperti ini.
“Tidak,,, aku tak ingin mengingatnya lagi...”
*khz*khz* mungkin air mataku ini sudah tertutupi oleh hujan. Beberapa menit aku
berdiam di situ, dan akhirnya aku mendengar langkah seseorang yang mendekat,
lalu ia menghalau tetesan air hujan, suaranya seperi air hujan yang terkena
payung “mungkin ini payung” ujarku dalam hati. Ini mungkin saja Rhomad tetapi
tidak mungkin ia akan begini setelah kejadian tadi. “Maaf” ucapku pelan.
“Oi bodoh, apa yang kau lakuakan
disini?” suara ini, suara yang lama tak kudengar, “Erdian?” untuk memastikan
apa yang ku dengar salah atau tidak “Ayo bangun bodoh, tunggu apa lagi, ayo
pulang, aku bawa payung dua” tanpa membalasnya langsung saja aku memeluknya dengan
erat dan menangis sekencang kencangnya, orang yang bisa mengerti aku hanya dia
seorang.
“Ehh, ada apa ini?” tanpa memberi penjelasan
padanya, aku terus saja memeluknya sambil menangis. Setelah beberapa saat ku
akhiri tangisan ku dan berdiri, mengambil payung dari tangan Erd dan pulang
bersama, aku masih tidak bisa terima kejadian di kelas tadi, jadi aku berjalan
dengan memegang ujung baju Erd agar aku merasa lebih baikan.
Sesampai rumah mamaku langsung
menghampiriku “Ya ampun, kamu kenapa sih kok basah kuyup seperti ini” mamaku
masih terfokus padaku tetapi tidak menyadari kehadiran Erd.
“Lo nak Erd, kamu akhirnya keluar dari rumah!?”
beliau menyadarinya “Iya te, kalau begitu Erd pulang dulu ya.” Jawab Erd dengan sopan.
“iya iya, hati hati di jalan, makasih nak”
teriak ibuku “Sama-sama te” senyumnya yang ramah mengingatkanku betapa baiknya
Erd. Mamaku tidak habis pikir, langsung membawakan handuk dan membereskan
barang barangku “kamu ngapain aja sih, sampai tas kamu basah semua” khawatir
mamaku “cuman kehujanan kok” jawabku bohong “jangan lakukan lagi lo nanti
sakit, ingat minggu besok kamu ada ujian semester lo.” Nasihat mama kepadaku
“iya ma..”
Keesokan harinya aku sudah kembali ke
diriku yang biasanya, tatapi di dalam hatiku masih ada sedikit keganjalan tentang
Rhomad, yaitu aku membencinya tetapi aku tidak bisa menolak untuk menyukainya. Namun,
aku harus fokus untuk ujian kali ini, tidak boleh mengecewakan orang tua ku.
Disisi lain untuk Erd aku sudah mulai untuk memaafkannya. Dan ujian semester
datang juga..
Dua minggu kemudian pengumuman hasil
ujian telah diumumkan, aku berhasil naik peringkat menjadi 63, semua ini berkat
kerja kerasku, tapi aku selalu saja kepikiran tentang Rhomad saat belajar, itu
sangat menggangguku >.< .
Saat
berangkat ke sekolah tadi tak sengaja kulihat sebuah kardus yang tergeletak di
sisi jalan, saat ku ingin memindahkannya ternyata didalamnya terdapat dua ekor
anak kucing kecil, yang satu berwarna hitam dan yang satunya warna putih. Di
bagian dalam kardusnya tertulis “Tolong rawat mereka” tetapi aku tidak bisa
sekaligus tidak mau memungut kedua anak kucing itu, karena itu mengingatkanku
dengan kucingku yang mati 8 tahun yang lalu. Jadi mereka aku taruh kembali ke
kardus dan lebih meminggirkannya, agar aman dari kendaraan yang lalu lalang.
Baru kusadari bahwa papan pengumuman
kali ini terlihat lebih ramai dari pada sebelumnya, dan disana ada Rhomad.
Entah kenapa ia terlihat begitu kesal, begitu kudekati dia, dan memegang
bahunya, “Minggir!!” ucapnya sambil kesalnya. Aku penasaran apa yang terjadi,
setelah ku lihat di papa pengumuman ternyata bukan Rhomad yang mendapat nilai tertinggi,
tetapi Erdian... karena kaget aku tidak bisa bergerak, aku terheran heran,
orang yang selama ini nilainya dibawah nilaiku bisa mendapat nilai tertinggi di
angkatan kami.
Langsung aku berlari mencari Erdian
tetapi aku tidak bisa menemukannya, akhirnya aku ke perpustakaan dan aku
mendengar teriakan dari depan perpus “Apa maumu hahh!!” itu suara Rhomad!,
kupercepat lariku da kulihat bahwa Rhomad sedang menarik kra baju Erdian.
Tetapi aku terlalu takut untuk mendekat, jadi aku lihat dari kejauhan. “Apa
maksutmu dari semua ini!! Apa kau punya masalah denganku!! Beraninya kau orang
rendahan!!” ucap Rhomad dengan kerasnya, waktu itu tidak ada guru yang menjaga
perpustakaan sehingga mereka tidak ada yang melerai.
Mengingat perkataan Rhomad ke Erd, entah
membuat ku terasa begitu kesal, lebih kesal daripada saat aku ditolaknya.
Tubuhku bergerak sendiri menuju mereka berdua, dengan cepat tangan ku menampar
Rhomad sekeras kerasnya *PLAK* seketika cengkraman Rhomad ke Erd dilepas dan mundur
beberapa langkah “Apa yang kau lakukan HAHH!!!” ucapnya tidak terima
“mengatakan orang yang lebih tinggi darimu itu rendahan? Bukankah itu perkataan
seorang pengecut” jawabku “Ada apa disana kok ramai?” tedengar seorang guru
datang “Cihh, awas kalian akan ku ingat ini” ujar Rhomad dan meninggalkan kami
berdua.
“Kenapa kamu tadi tidak melawan Erd!!?
Sentakku pada Erdian “Untuk apa? Aku tidak punya urusan dengannya.” “Terserah
deh, ayo pulang bareng untuk jaga-jaga, bisa saja si Rhomad itu datang lagi
nyariin kamu” sentakku bawel, tapi itu kelihatannya tidak pengaruh terhadap
Erd, dia malah biasa saja gitu nggak ada rasa bersalah sama sekali apa?. “PPfftt...
ppfft pfft...” entah kenapa mendengar Erd seperti itu membuatku jengkel “Apaan
sih kamu!? Udah gila ya?” jujur aku agak geli ngelihat dia begitu. “Nggak kok,
Cuma heran saja. Kamu hari ini sedikit agresif kayak ikan buntal yang sering
ngembang pipinya” kali ini Erd benar-benar gila.
Keesokan harinya, aku berangkat sekolah
bersama Erd. Disepanjang perjalanan menuju kelas, kami bercanda tak
henti-hentinya sehingga membuat banyak orang yang bertatap iri. Sesampainya
didepan kelasku, Erd berpesan bahwa pulang sekolah nanti kita akan pulang
bersama seperti biasanya. Setelah menyampaikan pesan tersebut Erd langsung
meninggalkanku dan menuju ke kelasnya.
Sesampainya di tempat dudukku, Cyra
menatapku dengan tatapan menyelidik. Seolah-olah jika tak ditatap setajam itu
aku akan hilang dalam sekejap mata. Karena tak tahan dengan tatapan tajamnya
akupun berkata, “Huft…Kamu kenapa sih,Ra?” karena tak kunjung mendapatkan
jawaban akupun bertanya lagi dengan nada yang naik beberapa oktaf, “Ra, kamu
kenapa sih natap aku sampe segitunya?”
Beberapa saat kemudian Cyra berkata,
“Kamu deket banget ya sama Erdian.”
“Aku sama Erdian sudah deket dari kecil.
Kita udah terbiasa bersama.” Kataku dengan mudahnya. Tiba-tiba pernyataan Cyra
membuatku sesak, “Aku pikir kamu pacaran sama dia.”
“Gak mungkinlah, aku sama dia udah deket
dari kecil.” Sanggahku sambil mengeluarkan handphone dari dalam tas. Kulirik
Cyra sedang ber-o ria pada jawabanku.
“Kenapa
ya Cyra tiba-tiba tanya gitu ke aku? Atau jangan-jangan…” batinku sambil
melirik dan menunjukkan senyum mengejekku.
“Ra… kamu pulangnya bareng aku dan Erd
ya. Kita kan sejalur.” Ajakku kepada Cyra bersamaan dengan Erd yang berjalan
menuju kearah kami. “Ta…tapi…” tanpa menghiraukan perkataan Cyra, aku langsung
mendorongnya agar ikut menaiki angkutan umum yang biasa aku tumpangi bersama
Erd.
Cyra duduk disampingku dan Erd duduk
tepat di depanku. Tiba tiba Erd bertanya kepadaku, “Kamu udah baikan?”. Cyra
yang mendengar ucapan Erd mulai ikut menatapku, “Emangnya kamu kenapa?”. Mau
tak maupun aku menceritakan kejadian dimana aku menyatakan perasaanku kepada
Rhomad.
Setelah mendengar ceritaku secara
keseluruhan. Cyra menunduk dan berkata, “Sebenarnya buku yang selalu Rhomad
bawa kemana-mana itu adalah buku karangan ibunya. Buku itu sempat kubaca tanpa
sepengetahuan Rhomad. Dibuku itu menceritakan tentang betapa kerasnya suatu
kehidupan. Jadi mungkin itu penyebab dari sikapnya sekarang ini.”
“Beberapa tahun yang lalu tepat pada acara
kelulusan waktu sekolah dasar, Rhomad mendapatkan nilai tertinggi seangkatan.
Terlihat sekali bagaimana bahagianya dia. Setelah menerima bukti kelulusan,
Rhomad berlari kencang menuju rumahnya yang tak jauh dari rumahku untuk
memberitahu ibundanya atas prestasinya. Tapi baru beberapa menit dia memasuki
rumahnya. Terdengar teriakan yang amat pilu sampai ke gendang telingaku. Akupun
bergegas menuju ke luar rumah, banyak warga yang berlarian menuju ke rumah
Rhomad. Aku yang memiliki rasa ingin tahu tinggi segera menuju ke rumah Rhomad.
Dan yang membuatku membeku adalah ketika kulihat bunda Rhomad terbujur kaku di
tempat tidur.” Cerita Cyra membuatku membeku dan menggigit bibir bawahku
membayangkan kehidupan seorang Rhomad yang begitu kacau. Dan yang ada di
pikiranku saat ini adalah alasan Rhomad ingin memukuli Erd.
Keesokan
harinya, aku duduk sendiri karena Cyra sedang tanpa keterangan. Seharian ini
berjalan dengan lancar, meski pikiranku masih berkelana pada kejadian dimana
Cyra menceritakan masa lalu seorang Rhomad, Penyebab Rhomad yang dingin dan
selalu ingin menjadi yang terbaik, dan penolakan cinta Rhomad kepadaku. Semua
hal itu terputar bagai bioskop di pikiranku.
Sehari
kemudian, sudah kulihat Cyra duduk di bangkunya. Aku pun mendekatinya dan
berkata, “Ra, kemarin kenapa kamu tidak masuk sekolah tanpa keterangan pula?
Kamu lagi datang bulan?”.
“Nggak kok, Cuma sedikit pusing aja.”
Ucapnya sambil nyengir. Akupun tak mencoba bertanya lagi karena guru mata
pelajaran matematika sudah masuk ke dalam kelas.
Waktu bel pulang sekolah berbunyi, Cyra
dengan cepat mengemasi barang-barangnya dan belari keluar tanpa menyapaku. Aku
yang penasaran akhirnya mengejar Cyra yang berjalan setengah berlari. Sesampainya
di dekat aula, aku melihat Erd dan Cyra sedang berhadap-hadapan seperti sedang
membicarakan sesuatu. Terlihat nada bicara Erd seperti datar sedangkan tubuh
Cyra mematung dan terlihat wajahnya tiba-tiba pucat. Tiba-tiba kulihat Cyra
mengeluarkan handphone dan langsung berlari menjauh dari tempat itu. Sebelum
itu kulihat Cyra berbicara singkat kepada Erd.
Kucoba mengejar Cyra tapi ketika sampai
pada persimpangan koridor Cyra sudah menghilang. Ketika aku akan berbalik
tiba-tiba Erd sudah berada didepanku dengan senyum manisnya membuatku terpekik
kecil. “Eh... kok tiba-tiba ada disini? Tiba-tiba muncul kayak pocong aja.”
Sindirku. Dia hanya nyengir. “Erd… ngomong-ngomong kenapa Cyra lari?” tanyaku
kepada Erd. “Katanya tadi udah dijemput maminya.” Katanya kepadaku. Tapi
firasatku mengatakan lain, biarlah aku percaya saja pada Erd. “Yaudah ayo kita
pulang!” ajak Erd. Kamipun mulai menuju ke gerbang untuk menunggu angkutan
umum.
Keesokan harinya, aku duduk sendirian
lagi karena Cyra tiba-tiba alpha lagi. Tadi pagi aku mencoba meminta maaf
kepada Rhomad dengan pernyataan cintaku tempo hari. Tapi dia malah membalas
acuh. Meskipun begitu aku akan terus meminta maaf kepada Rhomad sampai ia
memaafkan diriku.
Sudah seminggu kegiatan meminta maafku
kepada Rhomad, tapi Rhomad masih mengacuhkan diriku. Seolah-olah aku tak pernah
bicara apa-apa kepadanya. Hingga tiba-tiba Rhomad membentakku, “KENAPA KAMU
NGELAKUIN INI? KAMU GAK ADA KERJAAN SELAIN NGERECOKI AKU?”
Saat aku ingin bicara, tiba-tiba
seseorang laki-laki datang dan memundurkan diriku untuk bersembunyi di
belakangnya. Dan orang itu adalah… Erdian.
Erd melihat kearah Rhomad dengan tajam dan berkata, “Apa? Mau berantem?”.
Sedangkan Rhomad menghadap ke sekeliling seperti mencoba membaca suasana. “Jangan
sekarang, tuh lihat masih ada guru. Lain kali aja kalau gak sibuk.” Ucap Erd dengan
entengnya. “Cih, sudahlah! Aku sudah muak dengan kalian berdua!” jawab Rhomad
karena jengkelnya pada Erd. “Kamu gapapa?” tanya Erd kepadaku yang sedari tadi
terdiam di belakangnya. “A..Aku gapa..pa kok Erdd..” Jawabku gugup. “Sudah
cukup, aku muak dengan kalian berdua.” Kata Rhomad sambil melesat pergi.
Tiba-tiba ada sesuatu yang mengalir di pipi kananku tapi itu tak membuatku
untuk cepat-cepat menghapusnya. Malah aku tak henti-hentinya melihat punggung
tegap Rhomad yang mulai menjauh dan hilang ditelan tikungan koridor.
Tiba-tiba aku merasa ada yang menghapus
jejak sang air mata. Saat ku menoleh kearah Erd, ia malah sibuk menghapus jejak
air mataku dengan sapu tangannya. Diriku mematung aku merasa darahku berdesir,
detak jantungku tak karuan, dan serasa ada banyak kupu-kupu di perutku. “Kamu
kelilipan ya? Sampe jatuhin air mata.” Kata Erd langsung membuatku tersadar.
“Eh… mana saputangannya!? Aku bisa hapus air mataku sendiri!” Ucapku sambil
mengambil saputangan itu dan mulai menghapus jejak air mataku.
Tiba-tiba Erd bertanya, “Apa sih
bagusnya Rhomad? Kalau dia gak bisa buat kamu bahagia. Aku mau bikin kamu
bahagia. Kalau bisa, aku akan menikahimu suatu saat nanti.” Setelah Erd mengatakan semua itu entah
mengapa pipiku menjadi panas. Tanpa aba-aba aku langsung saja berjalan cepat
tanpa menghiraukan panggilan Erd.
Sehari setelahnya aku datang pagi-pagi
untuk menghindari Erd dan untuk bertanya kepada Cyra tentang sesuatu. Dan tepat
sekali, Cyra sudah duduk manis di bangkunya. Akupun segera duduk di bangkuku
dan menghadap kearah Cyra. “Ra… aku boleh tanya?” tanyaku hati-hati.Cyra hanya
menganggukan kepala tanpa berkata. “Misalnya kita ngerasain ada desiran aneh
pada darah kita, jantung kita yang berdetak diatas kecepatan normal, serasa ada
kupu-kupu terbang yang menggelitiki perut kita, dan rasa malu yang membuat pipi
kita menjadi agak panas. Kira kira itu apa ya?” Tanyaku yang membuat Cyra
tiba-tiba tersenyum. “Itu.namanya.jatuh.cinta.” kata Cyra penuh penekanan pada
setiap katanya.
Aku lantas tak bisa berkedip dengan
jawaban singket Cyra. “Apa??? Aku jatuh cinta pada Erd? Sepupuku sendiri? Lantas
bagaimana dengan Cyra yang menyukai Erd?” batinku
Kalau ini yang namanya cinta, lantas
yang kurasakan kepada Rhomad itu apa? Apa hanya sekedar obsesi? Entahlah aku
pusing memikirkannya.
Sudah lebih dari seminggu aku selalu
diam kepada Erd, aku takut pada kenyataan bahwa ‘Aku mencintainya’. Tapi memang
benar hidupku takkan berwarna apabila tanpa dia. Mungkin akan terasa hitam
putih seperti TV jaman dulu, dan hambar layaknya sup tanpa garam.
Tiba tiba pintu rumahku terbuka dan
menampakkan wajah lesu Erdian. Tunggu… Itu beneran Erd. Ketika aku akan berlari
tiba-tiba Erd mencekal pergelangan tanganku. “Aku salah apa sih sama kamu
sampai kamu diemin aku kayak gini?”Tanyanya dengan nada yang sangat memelas.
“Aku boleh bertanya?” tanyaku hati-hati. Dengan cepat dia menggangukan kepala.
“Apa alasan kamu masuk sekolah setelah 2 bulan mengurung diri di rumah dan
tiba-tiba mendapatkan nilai tertinggi seangkatan? Dan apa alasanmu selalu
bersikap lembut kepadaku?” Kataku kepada Erd.
“Sebenarnya semua hal yang aku lakukan
itu adalah sebuah pembuktian perkataanku untuk menjadi seorang dokter hewan.”
Aku mematung… tiba-tiba kejadian 8 tahun
yang lalu terputar kembali dalam benakku.
“Erd… kucing kesayanganku mati tadi
pagi.” Kataku kepada Erd sambil menangis.
“Kamu jangan nangis, Erd janji bakal jadi
dokter hewan supaya kamu gak lihat hewan kesayanganmu mati lagi.” Janji Erd
kepadaku.
“Terimakasih Erd.” Ujarku sambil
memeluk erat Erd.
“Jadi karena alasan itu yang membuatmu
melakukan semua ini?” Tanyaku kepada Erd yang sekarang berada tepat di depanku.
Dia menganggukan kepalanya. “Jadi
mengapa selama 2 bulan menggurung diri di rumah?” tanyaku sambil menatap lurus
kearah manik matanya. Dia tersenyum geli atas pertanyaanku.
“Sebenarnya waktu itu aku gak mau orang
yang aku cintai menyukai orang lain selain aku. Aku takut apa yang
kuperjuangkan selama ini akan sia-sia.”. katanya sambil tersenyum simpul. “A..Apa
yang ka…kau perjuang…kan?” tanyaku mulai gugup.
“Kamu.” Satu kata yang berhasil membuat
kupu-kupu menggelitiki perutku. Aku benar-benar telah dibutakan oleh obsesi selama
ini. Aku tak pernah melihat orang yang berjuang mati-matian untukku. Mengapa
aku harus mengejar orang yang tak mau dikejar? Harusnya aku menoleh ke belakang
dan melihat orang yang selalu setia menungguku, bukannya terkungkung pada suatu
harapan yang tak pasti.
“Jadi, dimasa mendatang kamu benar akan
menikahiku?” Tanyaku kepada Erd.
“Iya… itupun kalau kamu mau.” Ucapnya
sambil menundukkan kepala. “Siapa bilang aku mau?” Ujarku sambil menunjukkan
senyumku. Erd yang sudah menundukkan kepala semakin menundukkan kepalanya. “Aku
mau kok jadi istrimu.” Kataku dengan wajah yang sumringah.
Erdpun seketika akan memelukku, tapi
tanganku mencoba menahannya “Stop! Itu tadi maksudnya aku tidak 100% ingin
menjadi istrimu. “Hampir saja dia memelukku tadi, hanya butuh beberapa
sentimeter aku akan tersentuh olehnya. “Ok aku mau menjadi istrimu asal kamu
bisa menepati satu hal.” ini adalah alasanku agar dia tidak memelukku. “Baiklah
akan kulakukan, apapun itu.” Jawabnya tidak sabaran. “Tepati dulu janji itu,
maka aku akan bersedia menjadi pengantinmu Erd.”
Tanpa aku sadari dalam sekejap ia
langsung memelukku, tapi kubiarkan dia untuk kali ini saja.
Beberapa minggu telah berlalu, hari-hari
berjalan seperti biasa. Setiap pagi Erd selalu menjemputku dengan semangat
menyilaukannya. Dan Cyra di kelas selalu memberiku sapaan hangat. Jika si
Rhomad, aku sudah tidak tahu kabar darinya akhir-akhir ini, yah sudahlah
sekarang aku sudah punya Erd jadi tak ada alasan untuk bersedih lagi.
Segala kebingungan ini telah memberiku
suatu pelajaran apa arti dari cinta yang sesungguhnya. Rasa sakit, perih, pahit
yang kualami selama ini bukan berarti hampa tak ada artinya. Dan akhirnya aku
menyadari perasaanku kepada Erd. Seandainya Erd bukan sepupuku, maka aku akan merasakan
perasaan ini dari dulu. Karena selama ini aku menganggapnya sebagai saudara bukan
seorang seorang lelaki. Biarlah waktu yang akan menjawab perasaan kami berdua,
apakah akan berjalan dengan lancar atau tidak. Kami tidak akan tahu.
“Andai dia bukan sepupuku.”
TAMAT.
Nb : Ini adalah sebuah cerita pendek hasil kolaborasiku dan temanku :)