Cari Blog Ini

Jumat, 18 Oktober 2019

You Are not My Sibblings karya Indanarizha_




You Are not My Sibblings karya Indanarizha_



Erdian, dia adalah sepupu laki-lakiku, dialah yang membuat hari-hari di masa kecilku terasa begitu berwarna. Ia selalu mengajakku bermain, selalu ada setiap aku membutuhkannya sampai aku mengira kalau diriku tak mau hidup tanpanya. Tetapi itu dulu, sekarang aku benar benar membencinya.
“SUDAH CUKUP!! Jika kamu tidak mau membantu, maka akan ku lakukan sendiri! Ku kira kamu itu baik tapi ternyata tidak! JANGAN GANGGU AKU LAGI, BODOH!!!” bentakku ke Erdian 2 bulan yang lalu karena ia tak mau mendukungku dikala aku jatuh cinta dengan seseorang.
Selepas hari itu Erdian tidak menampakkan wajahnya sama sekali, ibunya mengatakan ia selalu mengurung dirinya di kamar, hanya keluar jika waktunya makan dan jika ia ingin ke kamar mandi, selama 2 bulan ia mengunci dirinya bahkan terhadap ibundanya sendiri. Tapi itu bukan urusanku, aku tidak ingin dia mengganggu kehidupanku lagi.
Dan orang yang kusukai dari dulu adalah “Rhomad” ucapku pelan sambil tersenyum riang. Entah bagaimana ia bisa mengikat hati kecilku, ia adalah seorang yang special di mataku layaknya bangsawan, rambut coklat lurusnya, tinggi 168 cm, golongan darah AB, memakai kacamata hitam, dan selalu membawa buku tebal kemana-mana, dia juga sangat pintar selalu mendapat urutan pertama dengan nilai yang hampir sempurna. “Duuuhh...” gumamku karena terlalu memikirkannya.
Akhir November, kali ini aku akan menyatakan perasaanku yang telah lama kupendam, aku sudah mempersiapkan semua dari kemarin. Di sekolah semua teman sekelasku terheran heran kenapa aku senyum-senyum sendiri, ketika ada yang tanya selalu ku jawab “Nggak kenapa kenapa kok”. Aku tak ingin memberitahukan kepada siapapun rencana hari ini, bahkan kepada sahabatku sendiri, Cyra. Walaupun Cyra akan merahasiakannya tetapi aku tidak ingin seorangpun ikut campur di hari yang sangat mendebarkan ini.
Sore hari keaadan cuaca sedang mendung gelap, dan aku melihat Rhomad masih di sekolah dan ia sedang baca buku yang selalu ia bawa kemana mana, sebelum sekolah ditutup aku harus menyatakan perasaanku kepada Rhomad. Dengan penuh keberanian aku memasuki ruang kelasnya dan langsung menghampirinya.
“A-Anu, pe-permisi, Rhomad aku ada se-sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu.” ucapku gugup. Tetapi ia tidak berbicara sepatah katapun hanya diam hening dan menatapku dengan tatapan bosan. Tetapi akan kusampaikan saat ini juga perasaanku “Rhomad!” dengan nada sedikit menyentak agar dia lebih memperhatikanku.
 “Sebenarnya aku dari dulu meny-“ belum selesai aku berkata, dia langsung berbicara dengan tegasnya, “Kamu ini siapa aku tidak pernah melihat wajahmu?” langsung kujawab walau dengan gemetar disekujur tubuhku “Aku dari kelas sebela-“ “ohh, kamu ini mendapat peringkat berapa hasil tes kemarin” tanyanya dengan cepat. “A-Aku di urutan 95” jawabku gugup bersamaan dengan mendung yang kini berubah menjadi tetesan-tetesan air mata langit yang berjatuhan dan aku masih saja tidak bisa berkata lantang.
 “cih... buang buang waktu saja berbicara dengan orang yang tingkatannya cuma segitu” dia langsung berdiri dan mengemasi barangnya. Tetapi aku belum menyerah, kudekati dia dan tak sengaja ujung telunjukku menyentuh buku yang biasa  ia bawa kemana-mana, “JAUHKAN TANGAN KOTORMU ITU, orang rendahan sepertimu tidak pantas menyentuh buku ini, buku ini hanya diperuntukan untuk orang yang setingkat denganku!!” sentaknya dengan penuh penekanan.
Seketika petir menyambar pada penglihatan dan pikiranku. Betapa kagetnya aku dengan perkataannya, orang yang selama ini kukagumi ternyata berbeda dengan yang kubayangkan. Spontan aku melangkah mundur, tanpa sepatah katapun ku berlari meninggalkan kelas itu dan menutup mata dengan lenganku agar ekspresiku tidak terlihat oleh dia.
 Ku terus berlari hingga ke lapangan belakang sekolah dan melampiaskan semua kejengkelanku di sana. Gerimis kini menjadi hujan lebat, entah kenapa seketika aku teringat sepupuku diwaktu seperti ini.
 “Tidak,,, aku tak ingin mengingatnya lagi...” *khz*khz* mungkin air mataku ini sudah tertutupi oleh hujan. Beberapa menit aku berdiam di situ, dan akhirnya aku mendengar langkah seseorang yang mendekat, lalu ia menghalau tetesan air hujan, suaranya seperi air hujan yang terkena payung “mungkin ini payung” ujarku dalam hati. Ini mungkin saja Rhomad tetapi tidak mungkin ia akan begini setelah kejadian tadi. “Maaf” ucapku pelan.
“Oi bodoh, apa yang kau lakuakan disini?” suara ini, suara yang lama tak kudengar, “Erdian?” untuk memastikan apa yang ku dengar salah atau tidak “Ayo bangun bodoh, tunggu apa lagi, ayo pulang, aku bawa payung dua” tanpa membalasnya langsung saja aku memeluknya dengan erat dan menangis sekencang kencangnya, orang yang bisa mengerti aku hanya dia seorang.
 “Ehh, ada apa ini?” tanpa memberi penjelasan padanya, aku terus saja memeluknya sambil menangis. Setelah beberapa saat ku akhiri tangisan ku dan berdiri, mengambil payung dari tangan Erd dan pulang bersama, aku masih tidak bisa terima kejadian di kelas tadi, jadi aku berjalan dengan memegang ujung baju Erd agar aku merasa lebih baikan.
Sesampai rumah mamaku langsung menghampiriku “Ya ampun, kamu kenapa sih kok basah kuyup seperti ini” mamaku masih terfokus padaku tetapi tidak menyadari kehadiran Erd.
 “Lo nak Erd, kamu akhirnya keluar dari rumah!?” beliau menyadarinya “Iya te, kalau begitu Erd  pulang dulu ya.” Jawab Erd dengan sopan.
 “iya iya, hati hati di jalan, makasih nak” teriak ibuku “Sama-sama te” senyumnya yang ramah mengingatkanku betapa baiknya Erd. Mamaku tidak habis pikir, langsung membawakan handuk dan membereskan barang barangku “kamu ngapain aja sih, sampai tas kamu basah semua” khawatir mamaku “cuman kehujanan kok” jawabku bohong “jangan lakukan lagi lo nanti sakit, ingat minggu besok kamu ada ujian semester lo.” Nasihat mama kepadaku “iya ma..”
Keesokan harinya aku sudah kembali ke diriku yang biasanya, tatapi di dalam hatiku masih ada sedikit keganjalan tentang Rhomad, yaitu aku membencinya tetapi aku tidak bisa menolak untuk menyukainya. Namun, aku harus fokus untuk ujian kali ini, tidak boleh mengecewakan orang tua ku. Disisi lain untuk Erd aku sudah mulai untuk memaafkannya. Dan ujian semester datang juga..
Dua minggu kemudian pengumuman hasil ujian telah diumumkan, aku berhasil naik peringkat menjadi 63, semua ini berkat kerja kerasku, tapi aku selalu saja kepikiran tentang Rhomad saat belajar, itu sangat menggangguku >.< .
 Saat berangkat ke sekolah tadi tak sengaja kulihat sebuah kardus yang tergeletak di sisi jalan, saat ku ingin memindahkannya ternyata didalamnya terdapat dua ekor anak kucing kecil, yang satu berwarna hitam dan yang satunya warna putih. Di bagian dalam kardusnya tertulis “Tolong rawat mereka” tetapi aku tidak bisa sekaligus tidak mau memungut kedua anak kucing itu, karena itu mengingatkanku dengan kucingku yang mati 8 tahun yang lalu. Jadi mereka aku taruh kembali ke kardus dan lebih meminggirkannya, agar aman dari kendaraan yang lalu lalang.
Baru kusadari bahwa papan pengumuman kali ini terlihat lebih ramai dari pada sebelumnya, dan disana ada Rhomad. Entah kenapa ia terlihat begitu kesal, begitu kudekati dia, dan memegang bahunya, “Minggir!!” ucapnya sambil kesalnya. Aku penasaran apa yang terjadi, setelah ku lihat di papa pengumuman ternyata bukan Rhomad yang mendapat nilai tertinggi, tetapi Erdian... karena kaget aku tidak bisa bergerak, aku terheran heran, orang yang selama ini nilainya dibawah nilaiku bisa mendapat nilai tertinggi di angkatan kami.
Langsung aku berlari mencari Erdian tetapi aku tidak bisa menemukannya, akhirnya aku ke perpustakaan dan aku mendengar teriakan dari depan perpus “Apa maumu hahh!!” itu suara Rhomad!, kupercepat lariku da kulihat bahwa Rhomad sedang menarik kra baju Erdian. Tetapi aku terlalu takut untuk mendekat, jadi aku lihat dari kejauhan. “Apa maksutmu dari semua ini!! Apa kau punya masalah denganku!! Beraninya kau orang rendahan!!” ucap Rhomad dengan kerasnya, waktu itu tidak ada guru yang menjaga perpustakaan sehingga mereka tidak ada yang melerai.
Mengingat perkataan Rhomad ke Erd, entah membuat ku terasa begitu kesal, lebih kesal daripada saat aku ditolaknya. Tubuhku bergerak sendiri menuju mereka berdua, dengan cepat tangan ku menampar Rhomad sekeras kerasnya *PLAK* seketika cengkraman Rhomad ke Erd dilepas dan mundur beberapa langkah “Apa yang kau lakukan HAHH!!!” ucapnya tidak terima “mengatakan orang yang lebih tinggi darimu itu rendahan? Bukankah itu perkataan seorang pengecut” jawabku “Ada apa disana kok ramai?” tedengar seorang guru datang “Cihh, awas kalian akan ku ingat ini” ujar Rhomad dan meninggalkan kami berdua.
“Kenapa kamu tadi tidak melawan Erd!!? Sentakku pada Erdian “Untuk apa? Aku tidak punya urusan dengannya.” “Terserah deh, ayo pulang bareng untuk jaga-jaga, bisa saja si Rhomad itu datang lagi nyariin kamu” sentakku bawel, tapi itu kelihatannya tidak pengaruh terhadap Erd, dia malah biasa saja gitu nggak ada rasa bersalah sama sekali apa?. “PPfftt... ppfft pfft...” entah kenapa mendengar Erd seperti itu membuatku jengkel “Apaan sih kamu!? Udah gila ya?” jujur aku agak geli ngelihat dia begitu. “Nggak kok, Cuma heran saja. Kamu hari ini sedikit agresif kayak ikan buntal yang sering ngembang pipinya” kali ini Erd benar-benar gila.
Keesokan harinya, aku berangkat sekolah bersama Erd. Disepanjang perjalanan menuju kelas, kami bercanda tak henti-hentinya sehingga membuat banyak orang yang bertatap iri. Sesampainya didepan kelasku, Erd berpesan bahwa pulang sekolah nanti kita akan pulang bersama seperti biasanya. Setelah menyampaikan pesan tersebut Erd langsung meninggalkanku dan menuju ke kelasnya.
Sesampainya di tempat dudukku, Cyra menatapku dengan tatapan menyelidik. Seolah-olah jika tak ditatap setajam itu aku akan hilang dalam sekejap mata. Karena tak tahan dengan tatapan tajamnya akupun berkata, “Huft…Kamu kenapa sih,Ra?” karena tak kunjung mendapatkan jawaban akupun bertanya lagi dengan nada yang naik beberapa oktaf, “Ra, kamu kenapa sih natap aku sampe segitunya?”
Beberapa saat kemudian Cyra berkata, “Kamu deket banget ya sama Erdian.”
“Aku sama Erdian sudah deket dari kecil. Kita udah terbiasa bersama.” Kataku dengan mudahnya. Tiba-tiba pernyataan Cyra membuatku sesak, “Aku pikir kamu pacaran sama dia.”
“Gak mungkinlah, aku sama dia udah deket dari kecil.” Sanggahku sambil mengeluarkan handphone dari dalam tas. Kulirik Cyra sedang ber-o ria pada jawabanku.
            “Kenapa ya Cyra tiba-tiba tanya gitu ke aku? Atau jangan-jangan…” batinku sambil melirik dan menunjukkan senyum mengejekku.
“Ra… kamu pulangnya bareng aku dan Erd ya. Kita kan sejalur.” Ajakku kepada Cyra bersamaan dengan Erd yang berjalan menuju kearah kami. “Ta…tapi…” tanpa menghiraukan perkataan Cyra, aku langsung mendorongnya agar ikut menaiki angkutan umum yang biasa aku tumpangi bersama Erd.
Cyra duduk disampingku dan Erd duduk tepat di depanku. Tiba tiba Erd bertanya kepadaku, “Kamu udah baikan?”. Cyra yang mendengar ucapan Erd mulai ikut menatapku, “Emangnya kamu kenapa?”. Mau tak maupun aku menceritakan kejadian dimana aku menyatakan perasaanku kepada Rhomad.
Setelah mendengar ceritaku secara keseluruhan. Cyra menunduk dan berkata, “Sebenarnya buku yang selalu Rhomad bawa kemana-mana itu adalah buku karangan ibunya. Buku itu sempat kubaca tanpa sepengetahuan Rhomad. Dibuku itu menceritakan tentang betapa kerasnya suatu kehidupan. Jadi mungkin itu penyebab dari sikapnya sekarang ini.”
 “Beberapa tahun yang lalu tepat pada acara kelulusan waktu sekolah dasar, Rhomad mendapatkan nilai tertinggi seangkatan. Terlihat sekali bagaimana bahagianya dia. Setelah menerima bukti kelulusan, Rhomad berlari kencang menuju rumahnya yang tak jauh dari rumahku untuk memberitahu ibundanya atas prestasinya. Tapi baru beberapa menit dia memasuki rumahnya. Terdengar teriakan yang amat pilu sampai ke gendang telingaku. Akupun bergegas menuju ke luar rumah, banyak warga yang berlarian menuju ke rumah Rhomad. Aku yang memiliki rasa ingin tahu tinggi segera menuju ke rumah Rhomad. Dan yang membuatku membeku adalah ketika kulihat bunda Rhomad terbujur kaku di tempat tidur.” Cerita Cyra membuatku membeku dan menggigit bibir bawahku membayangkan kehidupan seorang Rhomad yang begitu kacau. Dan yang ada di pikiranku saat ini adalah alasan Rhomad ingin memukuli Erd.
            Keesokan harinya, aku duduk sendiri karena Cyra sedang tanpa keterangan. Seharian ini berjalan dengan lancar, meski pikiranku masih berkelana pada kejadian dimana Cyra menceritakan masa lalu seorang Rhomad, Penyebab Rhomad yang dingin dan selalu ingin menjadi yang terbaik, dan penolakan cinta Rhomad kepadaku. Semua hal itu terputar bagai bioskop di pikiranku.
            Sehari kemudian, sudah kulihat Cyra duduk di bangkunya. Aku pun mendekatinya dan berkata, “Ra, kemarin kenapa kamu tidak masuk sekolah tanpa keterangan pula? Kamu lagi datang bulan?”.
“Nggak kok, Cuma sedikit pusing aja.” Ucapnya sambil nyengir. Akupun tak mencoba bertanya lagi karena guru mata pelajaran matematika sudah masuk ke dalam kelas.
Waktu bel pulang sekolah berbunyi, Cyra dengan cepat mengemasi barang-barangnya dan belari keluar tanpa menyapaku. Aku yang penasaran akhirnya mengejar Cyra yang berjalan setengah berlari. Sesampainya di dekat aula, aku melihat Erd dan Cyra sedang berhadap-hadapan seperti sedang membicarakan sesuatu. Terlihat nada bicara Erd seperti datar sedangkan tubuh Cyra mematung dan terlihat wajahnya tiba-tiba pucat. Tiba-tiba kulihat Cyra mengeluarkan handphone dan langsung berlari menjauh dari tempat itu. Sebelum itu kulihat Cyra berbicara singkat kepada Erd.
Kucoba mengejar Cyra tapi ketika sampai pada persimpangan koridor Cyra sudah menghilang. Ketika aku akan berbalik tiba-tiba Erd sudah berada didepanku dengan senyum manisnya membuatku terpekik kecil. “Eh... kok tiba-tiba ada disini? Tiba-tiba muncul kayak pocong aja.” Sindirku. Dia hanya nyengir. “Erd… ngomong-ngomong kenapa Cyra lari?” tanyaku kepada Erd. “Katanya tadi udah dijemput maminya.” Katanya kepadaku. Tapi firasatku mengatakan lain, biarlah aku percaya saja pada Erd. “Yaudah ayo kita pulang!” ajak Erd. Kamipun mulai menuju ke gerbang untuk menunggu angkutan umum.
Keesokan harinya, aku duduk sendirian lagi karena Cyra tiba-tiba alpha lagi. Tadi pagi aku mencoba meminta maaf kepada Rhomad dengan pernyataan cintaku tempo hari. Tapi dia malah membalas acuh. Meskipun begitu aku akan terus meminta maaf kepada Rhomad sampai ia memaafkan diriku.
Sudah seminggu kegiatan meminta maafku kepada Rhomad, tapi Rhomad masih mengacuhkan diriku. Seolah-olah aku tak pernah bicara apa-apa kepadanya. Hingga tiba-tiba Rhomad membentakku, “KENAPA KAMU NGELAKUIN INI? KAMU GAK ADA KERJAAN SELAIN NGERECOKI AKU?”
Saat aku ingin bicara, tiba-tiba seseorang laki-laki datang dan memundurkan diriku untuk bersembunyi di belakangnya. Dan orang itu adalah… Erdian.
Erd melihat kearah Rhomad  dengan tajam dan berkata, “Apa? Mau berantem?”. Sedangkan Rhomad menghadap ke sekeliling seperti mencoba membaca suasana. “Jangan sekarang, tuh lihat masih ada guru. Lain kali aja kalau gak sibuk.” Ucap Erd dengan entengnya. “Cih, sudahlah! Aku sudah muak dengan kalian berdua!” jawab Rhomad karena jengkelnya pada Erd. “Kamu gapapa?” tanya Erd kepadaku yang sedari tadi terdiam di belakangnya. “A..Aku gapa..pa kok Erdd..” Jawabku gugup. “Sudah cukup, aku muak dengan kalian berdua.” Kata Rhomad sambil melesat pergi. Tiba-tiba ada sesuatu yang mengalir di pipi kananku tapi itu tak membuatku untuk cepat-cepat menghapusnya. Malah aku tak henti-hentinya melihat punggung tegap Rhomad yang mulai menjauh dan hilang ditelan tikungan koridor.
Tiba-tiba aku merasa ada yang menghapus jejak sang air mata. Saat ku menoleh kearah Erd, ia malah sibuk menghapus jejak air mataku dengan sapu tangannya. Diriku mematung aku merasa darahku berdesir, detak jantungku tak karuan, dan serasa ada banyak kupu-kupu di perutku. “Kamu kelilipan ya? Sampe jatuhin air mata.” Kata Erd langsung membuatku tersadar. “Eh… mana saputangannya!? Aku bisa hapus air mataku sendiri!” Ucapku sambil mengambil saputangan itu dan mulai menghapus jejak air mataku.
Tiba-tiba Erd bertanya, “Apa sih bagusnya Rhomad? Kalau dia gak bisa buat kamu bahagia. Aku mau bikin kamu bahagia. Kalau bisa, aku akan menikahimu suatu saat nanti.”  Setelah Erd mengatakan semua itu entah mengapa pipiku menjadi panas. Tanpa aba-aba aku langsung saja berjalan cepat tanpa menghiraukan panggilan Erd.
Sehari setelahnya aku datang pagi-pagi untuk menghindari Erd dan untuk bertanya kepada Cyra tentang sesuatu. Dan tepat sekali, Cyra sudah duduk manis di bangkunya. Akupun segera duduk di bangkuku dan menghadap kearah Cyra. “Ra… aku boleh tanya?” tanyaku hati-hati.Cyra hanya menganggukan kepala tanpa berkata. “Misalnya kita ngerasain ada desiran aneh pada darah kita, jantung kita yang berdetak diatas kecepatan normal, serasa ada kupu-kupu terbang yang menggelitiki perut kita, dan rasa malu yang membuat pipi kita menjadi agak panas. Kira kira itu apa ya?” Tanyaku yang membuat Cyra tiba-tiba tersenyum. “Itu.namanya.jatuh.cinta.” kata Cyra penuh penekanan pada setiap katanya.
Aku lantas tak bisa berkedip dengan jawaban singket Cyra. “Apa??? Aku jatuh cinta pada Erd? Sepupuku sendiri? Lantas bagaimana dengan Cyra yang menyukai Erd?” batinku
Kalau ini yang namanya cinta, lantas yang kurasakan kepada Rhomad itu apa? Apa hanya sekedar obsesi? Entahlah aku pusing memikirkannya.
Sudah lebih dari seminggu aku selalu diam kepada Erd, aku takut pada kenyataan bahwa ‘Aku mencintainya’. Tapi memang benar hidupku takkan berwarna apabila tanpa dia. Mungkin akan terasa hitam putih seperti TV jaman dulu, dan hambar layaknya sup tanpa garam.
Tiba tiba pintu rumahku terbuka dan menampakkan wajah lesu Erdian. Tunggu… Itu beneran Erd. Ketika aku akan berlari tiba-tiba Erd mencekal pergelangan tanganku. “Aku salah apa sih sama kamu sampai kamu diemin aku kayak gini?”Tanyanya dengan nada yang sangat memelas. “Aku boleh bertanya?” tanyaku hati-hati. Dengan cepat dia menggangukan kepala. “Apa alasan kamu masuk sekolah setelah 2 bulan mengurung diri di rumah dan tiba-tiba mendapatkan nilai tertinggi seangkatan? Dan apa alasanmu selalu bersikap lembut kepadaku?” Kataku kepada Erd.
“Sebenarnya semua hal yang aku lakukan itu adalah sebuah pembuktian perkataanku untuk menjadi seorang dokter hewan.”
Aku mematung… tiba-tiba kejadian 8 tahun yang lalu terputar kembali dalam benakku.
“Erd… kucing kesayanganku mati tadi pagi.” Kataku kepada Erd sambil menangis.
 “Kamu jangan nangis, Erd janji bakal jadi dokter hewan supaya kamu gak lihat hewan kesayanganmu mati lagi.” Janji Erd kepadaku.
“Terimakasih Erd.” Ujarku sambil memeluk erat Erd.
“Jadi karena alasan itu yang membuatmu melakukan semua ini?” Tanyaku kepada Erd yang sekarang berada tepat di depanku.
Dia menganggukan kepalanya. “Jadi mengapa selama 2 bulan menggurung diri di rumah?” tanyaku sambil menatap lurus kearah manik matanya. Dia tersenyum geli atas pertanyaanku.
“Sebenarnya waktu itu aku gak mau orang yang aku cintai menyukai orang lain selain aku. Aku takut apa yang kuperjuangkan selama ini akan sia-sia.”. katanya sambil tersenyum simpul. “A..Apa yang ka…kau perjuang…kan?” tanyaku mulai gugup.
“Kamu.” Satu kata yang berhasil membuat kupu-kupu menggelitiki perutku. Aku benar-benar telah dibutakan oleh obsesi selama ini. Aku tak pernah melihat orang yang berjuang mati-matian untukku. Mengapa aku harus mengejar orang yang tak mau dikejar? Harusnya aku menoleh ke belakang dan melihat orang yang selalu setia menungguku, bukannya terkungkung pada suatu harapan yang tak pasti.
“Jadi, dimasa mendatang kamu benar akan menikahiku?” Tanyaku kepada Erd.
“Iya… itupun kalau kamu mau.” Ucapnya sambil menundukkan kepala. “Siapa bilang aku mau?” Ujarku sambil menunjukkan senyumku. Erd yang sudah menundukkan kepala semakin menundukkan kepalanya. “Aku mau kok jadi istrimu.” Kataku dengan wajah yang sumringah.
Erdpun seketika akan memelukku, tapi tanganku mencoba menahannya “Stop! Itu tadi maksudnya aku tidak 100% ingin menjadi istrimu. “Hampir saja dia memelukku tadi, hanya butuh beberapa sentimeter aku akan tersentuh olehnya. “Ok aku mau menjadi istrimu asal kamu bisa menepati satu hal.” ini adalah alasanku agar dia tidak memelukku. “Baiklah akan kulakukan, apapun itu.” Jawabnya tidak sabaran. “Tepati dulu janji itu, maka aku akan bersedia menjadi pengantinmu Erd.”
Tanpa aku sadari dalam sekejap ia langsung memelukku, tapi kubiarkan dia untuk kali ini saja.
Beberapa minggu telah berlalu, hari-hari berjalan seperti biasa. Setiap pagi Erd selalu menjemputku dengan semangat menyilaukannya. Dan Cyra di kelas selalu memberiku sapaan hangat. Jika si Rhomad, aku sudah tidak tahu kabar darinya akhir-akhir ini, yah sudahlah sekarang aku sudah punya Erd jadi tak ada alasan untuk bersedih lagi.
Segala kebingungan ini telah memberiku suatu pelajaran apa arti dari cinta yang sesungguhnya. Rasa sakit, perih, pahit yang kualami selama ini bukan berarti hampa tak ada artinya. Dan akhirnya aku menyadari perasaanku kepada Erd. Seandainya Erd bukan sepupuku, maka aku akan merasakan perasaan ini dari dulu. Karena selama ini aku menganggapnya sebagai saudara bukan seorang seorang lelaki. Biarlah waktu yang akan menjawab perasaan kami berdua, apakah akan berjalan dengan lancar atau tidak. Kami tidak akan tahu.
“Andai dia bukan sepupuku.”
TAMAT.

Nb : Ini adalah sebuah cerita pendek hasil kolaborasiku dan temanku :)

Pesantren, Terimakasih atas Perubahanku karya Indanarizha_


Pesantren, Terimakasih atas Perubahanku


“Dek… Mau kemana?” tanya Nenek Rahma kepadaku yang tengah berlari mengejar temanku.  “Ara mau ngejar Zidan. Dia lagi bawa bola sepak Ara, Nek.” Ucapku dengan polos kepada nenekku. Nenekpun menutup Al-Qur’an yang tengah dibacanya dan menggerakkan tangannya seolah menyuruhku mendekatinya. “Sini Dek!” pinta nenek sambil memukul pelan tempat duduk di sampingnya. Akupun mendekat sambil mendudukkan diri di tempat tersebut. “Adek mau nggak berubah?” pertanyaan nenek hanya aku balas  kerutan di dahiku karena aku tdak mengerti apa maksud dari perkataannya. “Nenek mau Adek berubah jadi Muslimah yang sholehah. Gak kayak anak laki-laki seperti ini. Adek mau kan?” tawar nenek dengan senyuman yang amat indah. “Caranya gimana, Nek?” tanyaku polos. “Kamu maukan setelah lulus dari sekolah dasar, kamu belajar agama bersama Kak Diyah?” pinta nenek sambil mengelus puncak kepalaku dengan sayang. Aku yang senang melihat ekspresi nenek hanya mampu mengiyakan tanpa tau apa yang akan terjadi kedepannya.

Hazra Aizha, itulah namaku. Sedari kecil aku tak memiliki teman perempuan selain kakakku, Kak Syifa. Ini semua karena sikapku yang tak mencerminkan muslimah normal bahkan untuk kata wanita rasanya masih tak pantas. Karena sewaktu aku masih kecil, aku pernah mendengar perbincangan kedua orang tuaku yang masih tak rela melepaskan kepergian adik laki-lakiku yang baru saja lahir. Dengan tak adanya anak laki-laki di rumah, almarhum ayah selalu mengajakku bermain bermacam-macam mainan yang biasanya dimainkan oleh anak laki-laki mulai dari sepak bola sampai memancing ikan bersama. Berbeda dengan kakakku yang lebih senang bermain boneka di rumah. Menurutku tak ada yang seru dari memainkan benda mati yang sangat disukai oleh kakakku itu dan sangat membosankan.

Hampir dua tahun lebih dari permintaan Nenek Rahma. Aku masih belum mengerti apa yang dimaksud oleh beliau. Tapi aku tak terlalu mempermasalahkannya. Aku hanya menganggap hal itu sebagai candaan iseng dari nenek kesayanganku. Hingga aku heran melihat bundaku yang akhir-akhir ini sering membelikanku banyak gamis, entah apa yang beliau lakukan. Padahal beliau sangat tau bahwa aku tidak menyukai busana muslim semacam itu. Disetiap harinya aku selalu memakai celana dan baju panjang tanpa jilbab yang tergantikan oleh topi hitam pemberian ayah. Yah, aku sangat tidak bisa dibandingkan dengan kakakku yang sangat feminim dan cantik itu. Tak hanya cantik Kak Syifa sangat ramah kepada siapapun, dia memiliki hati yang sangat lembut sebagai perempuan. Aku mungkin hanya sebuah batu hitam, dekil yang berada di pelataran rumah. Berbeda dengan kakakku yang bisa kuumpamakan batu berlian yang bersinar terang. Semenjak kematian ayah, sikap ceriaku mulai berubah, aku bertekad akan melindungi wanita-wanita yang disayangi oleh ayahku. Aku berubah menjadi orang yang tak mau tau urusan orang lain kecuali tiga orang yang amat kusayangi yaitu bunda, nenek, dan Kak Syifa.

“Ara.” Panggil bunda kepadaku yang saat ini tengah bermain bola basket di lapangan kecil yang berada di belakang rumah. Aku yang mendengar panggilan itu lantas menghampiri bunda yang sedang duduk tak jauh dari tempatku. “Ada apa bun?” tanyaku kepada bunda sambil memantul-mantulkan bola ke lantai. “Ihh… kamu kenapa sih gak berubah-berubah dari dulu? Kamu mau kayak gini terus? Bunda udah capek liat sikap cuek kamu itu. Pantes gak ada temen cewek kamu yang pernah ke rumah ini. Bunda rasa mereka semua takut sama sikap kutubmu itu.” Kata bunda dengan nada sindirnya yang langsung menggetarkan sisi takutku. “Bun… itu bukan salah Ara kan? Kan Ara gak bisa nyari pokok pembicaraan. Merekanya juga gak berusaha nyari.” Sanggahku sambil duduk di lantai. “Tapi seharusnya kamu kalo ditanya teman jawabnya jangan hmm, iya, nggak. Siapa sih yang betah di cuekin kayak gitu? Apa lagi kamu itu perempuan, gak pantes buat cuek harusnya ramah dan sering tersenyum.” Nasihat bunda mulai keluar. Akupun mengelak dengan berkata, “Tapi kalo senyum-senyum sendiri itu gak sehat, Bun.”

“Gak sehat? Maksud kamu apa?” tanya bunda sambil mengerutkan dahinya. “Jiwanya.” Ucapku dengan enteng tanpa senyum pastinya. “Kamu kira cuek itu juga sehat?” tanya bunda membuatku membeku. Akupun mengalihkan pandangan karena sudah kalah telak oleh bunda rempongku ini. Kulihat bunda sedang menarik napas panjang. Kemudian ia mengelus puncak kepalaku yang masih tertutup oleh topi. “Sayang, kamu mau kan nenek dan bunda bahagia?” tanya bunda sambil mencoba duduk di sampingku. Aku yang mendengar pertanyaan bunda lantas dengan cepat menganggukan kepala. Bundapun memelukku dari samping seperti mencoba menyalurkan sedikit semangat ke tubuhku. Bundapun membuang napasnya kasar, “Ara, mulai besok kamu akan masuk ke pesantren untuk memperbaiki sikapmu ini.” Seketika seperti mendapat bongkahan es di perairan kutub, aku langsung menghadap bunda. “Bundaaaa… bunda apaan sih.” Kataku tak terima. “Ara… kamu sudah menyetujui ini dua tahun yang lalu pada nenek Rahma.”

Aku ingat, hal itu yang selama ini aku pikirkan. Kupikir nenek hanya bercanda tapi candaan itu menjadi nyata saat ini. “Kamu juga mau kan kalo ayah bahagia di atas sana?” ucap bunda membuatku tak dapat mengelak karena ini adalah sebuah janjiku kepada nenekku. Akupun menangis di pelukan bunda. Kami berdua menangis di sela-sela angin yang berbisik ria di lapangan kecil itu

Keesokan harinya. Bunda sedang menata pakaianku di dua kardus besar. Bukan pakaianku, lebih tepatnya gamis-gamis baru yang beliau belikan akhir-akhir ini yang tak kuduga benda itu sekarang menjadi milikku. Mungkin bunda sudah menyiapkan ini jauh-jauh hari sehingga sekarang semua sudah selesai terkemas rapi. Bunda yang selesai menata barangku sekarang berjalan menuju ke arahku yang sedang menonton anime di handphoneku. Mungkin ini akan menjadi nonton anime terakhir kali sebelum aku berangkat ke pesantren sore nanti. “Ara.” Panggil bunda membuatku menoleh ke arahnya. “Tolong dong pakai gamis yang ini sekarang.” Bujuk bunda sambil menunjukkanku sebuah gamis berwarna peach dengan manik-manik putih yang menghiasi gamis tersebut. Akupun berdiri dan mengganti pakaianku dengan gamis itu. Selesai berganti pakaian aku berjalan ke arah bunda. Setelah berada di dekatnya, bundapun menyuruhku duduk di kursi yang habis beliau duduki. Bundapun mengambil topi hitamku menaruhya diatas nakas, menarik kuncir rambutku dan mulai menguncir ulang dengan letak kunciran menjadi di dekat tengkuk. Setelah itu beliau mengambil sebuah kain panjang berwarna putih mulai menutupi rambutku dan menancapkan sebuah jarum pentul di dekat leherku. “Ara… bunda gak nyangka kamu bisa secantik ini.” Ucap bunda sambil menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Akupun mengeryitkan dahi tanda tak mengerti. Dengan sekali hentakan bunda membawaku kedepan cermin. Aku membelalakan mata, ini benar Hazra Aizha kan?

Bundapun tersenyum melihat wajah cengoku. Tiba-tiba dari arah pintu terdapat Kak Syifa yang baru pulang dari kostnya yang berada di kota. Kak Syifapun langsung menghampiriku dan memelukku dengan erat. Kami berpelukan dengan isakan tangis yang menjadi pengiringnya. Aku merasa kita akan berpisah lama sehingga akupun membalas pelukan itu tak kalah kuat.

Pukul tiga sore, semua barang sudah tertata rapi di bagasi mobil. Bunda dan Kak Syifa ikut mendampingiku menuju ke pesantren. Sebelum ke pesantren, aku ingin ke rumah nenek untuk memohon doa restunya. Saat berada di depan rumah nenek, aku langsung berlari menuju ke kamar nenek. Meski agak susah karena aku memakai gamis yang kepanjangan ini. Sesampainya di kamar, kulihat nenek sedang membaca sebuah kitab dengan kertas yang terlihat usang yang tak kumengerti bagaimana membaca huruf tanpa harakat itu. Aku memeluk nenekku erat sambil berujar, “Nek, Ara sayang banget sama nenek. Ara mau ngelaksanain janji Ara waktu itu.”

Nenekpun mengelus puncak kepalaku yang kali ini tertutup oleh jilbab. Dekapan nenek memberiku rasa tenang dan aman. “Dek, Nenek minta kamu berubah ya. Ubah dirimu menjadi muslimah yang akan menjadi wanita yang dirindukan surga. Janganlah berubah karena keterpaksaan, berubah karena Allah. Jangan pernah menyerah untuk berhijrah meski suatu saat nanti orang-orang menghilang, karena selalu ada Allah disetiap langkah yang kau ambil.” Nasihat nenek sambil sedikit terbatuk-batuk. Akupun melepas pelukan itu dan tersenyum manis ke arahnya. “Eiittss… jangan lupa untuk tersenyum kepada sesama dan tundukkan pandanganmu pada yang bukan makhrommu.” Lanjutnya dengan nada yang tegas. “Iya nek, Ara sayang nenek.” Ucapku sambil memeluknya kembali.

Setengah jam kemudian, di sinilah aku. Di sebuah pesantren mungil yang berada di ujung kota. Kulihat lalu lalang para santri putri yang memakai almamater pesantren tersebut. Ada sesuatu di dalam tubuhku yang bergetar ketika melihat para santri yang berlalu-lalang tersebut. Akupun terlonjak ketika kurasakan tangan mungil kakakku melingkar manis di bahuku. Rasanya diriku sulit untuk melepaskan kenyamanan yang telah diberikan keluarga kecilku ini. Meski sifatku yang cuek kepada teman-temanku tapi aku takkan pernah lupa bahagia bila dengan keluargaku karena hanya mereka yang mampu membuatku nyaman. Setelah menitipkanku ke pak kyai dan bu nyai, bunda dan Kak Syifa pamit untuk pulang. Disini santri putri dan putra berbeda tempat, yang putri yang kutempati ini dan yang putra berada dua ratus meter dari pesantren putri. Hal itu yang kudengar dari para pengasuh kepada bundaku tadi. Para pengurus mengantarkanku menuju ke kamar yang berada di lantai dua. Di lantai dua aku merasa berada di rumah pohon, bagaimana tidak apabila dari tangga, lantai sampai dinding pembatasnya terbuat dari kayu. Kulihat pesantren ini sangat kecil dan terdiri dari tiga tingkat. Aku berada di kamar ini karena di dalamnya terdapat Kak Diyah, sepupuku. Aku membereskan pakaianku pada almari kecil yang sudah bertuliskan namaku. Beberapa saat kemudian, banyak santri yang mulai mengerubungiku. Ada apa ini? Merekapun mulai memperkenalkan diri mereka. Tapi aku yang masih bingung hanya bisa menatap mereka sambil mengernyitkan dahi. Mereka yang kelihatannya gak nyaman denganku mulai pergi dari kerumunan itu dan menyisakan satu santri dengan gamis berwarna biru terang dan jilbab hitam yang melekat sempurna di wajah ayunya. Tiba-tiba santri tersebut mengajukan tangannya, akupun menyambutnya dengan gugup. Dia mulai berbicara, “Assalamu’alaikum ukhti, perkenalkan nama ana Marshilatul Madiva. Ukhti bisa panggil ana Shila.”

“Ma.. maaf sebelumnya. Tapi nama saya bukan ukhti.” Ucapku agak gugup takut salah. Kulihat dia tersenyum lucu, “Afwan. Maksud ana ukhti itu bahasa arab dari saudara perempuan, ana itu artinya saya, dan afwan itu artinya maaf.” Ucapnya sambil memperlihatkan lesung pipinya. Tak kurasa aku ikut tersenyum melihatnya. “Emang harus gitu ya?” tanyaku. Diapun mengernyitkan dahi tanda tak paham, “maksud kamu? Eh maksud kamu?”

“Emang harus pakai bahasa campur-campur kayak gitu? Disini gak wajib kan pake bahasa arab?” tanyaku takut-takut. “Kan aku gak bisa bahasa arab sama sekali. Tapi bodoamat lah, siapa juga yang mau ngomong sama aku kalo bukan dia.” Ucapku dalam hati sambil melirik ke arah orang yang sok kenal sok dekat bernama Shila itu.

“Tidak, kamu disini bebas pakai bahasa apa. Tapi khusus kepada pak kyai dan bu nyai kamu harus pakai bahasa jawa yang halus. Karena itu adalah tata krama kita kepada para pengasuh.” Jawabnya dengan bahasa Indonesia yang mudah kemengerti. “Terus, kenapa kamu tadi bicara pake bahasa arab campur bahasa Indonesia?” tanyaku penasaran. “Di tempat ini memang begini, nanti lama-kelamaan kamu juga terbiasa menggunakan bahasa arab. Aku juga masih belajar sedikit-sedikit.” Ucapnya sambil tersenyum tulus. “Ngomong-ngomong kenapa aku malah banyak bicara seperti ini?” teriak batinku.

Malam harinya, Shila mengajakku ke balkon panjang yang langsung menghadap ke langit malam yang indah dengan gemerlap bintang. “Ukhti Ara.” Panggil Shila membuatku menoleh ke arahnya. “Kudengar kamu sepupunya Kak Diyah ya? Tapi mengapa ana merasa ia tak pernah mencoba berbicara dengan kamu?” tanyanya dengan tatapan polos. Aku menghembuskan napas pelan, “Aku sendiri tidak tau, Shil.”

Aku tak pernah tau, sedari kecil Kak Diyah selalu begitu. Entah apa yang tak ia suka dari diriku. Seakan dari kecil aku selalu salah. Aku yang sudah tak ingin memikirkan itu lagi, meninggalkan Shila menuju ke arah kamar kayuku. Mungkin Shila sudah mulai mengerti sikap cuekku untuk saat ini. Tapi memang inilah aku. Sesampainya di kamar, ada sekitar tujuh santri yang berada didalamnya termasuk Kak Diyah. Aku masuk dan duduk di depan almariku. Ku dengar mereka sedang membicarakan seorang anak dari pengasuh pesantren. Tapi apa urusanku? Aku yang tak mengerti kemana arah pembicaraan mereka mulai terlelap dalam posisi duduk.

Sudah sekitar satu bulan aku berada di pesantren mungil ini. Aku mulai terbiasa dengan bahasa arab-indonesia kepada ukhti-ukhti, bahasa jawa halus kepada pengasuh, antrian mandi dan makan, baca Al-Qur’an dan kitab kuning, dan kegemaran baruku yang membuatku dipanggil para ustadz dengan sebutan “Ummu Naum” dan “Ummu Akl”. Bagaimana tidak mengantuk setiap saat? Aku baru tidur pukul sebelas malam selesai ngaji malam dan terbangun pukul dua untuk melaksanakan sholat tahajjud jamaah. Setelah sholat tahajjud, semua santri putri disini melanjutkan membaca yassin tiga kali secara serempak. Setelahnya santri bebas selama setengah jam untuk mandi, sahur bagi yang berpuasa, ataupun memantapkan hafalan di musholla kecil di lantai dasar. Dan sudah sebulan ini, Kak Diyah masih enggan berbicara panjang lebar denganku.

Pagi ini, aku kebagian jadwal membeli bahan makanan ke pasar yang tak jauh dari pondok mungkin sekitar tiga ratus meter. Aku mengajak Shila, ya sampai sebulah ini hanya Shila yang mau berbicara denganku. Karena tak ada yang betah denganku yang cuek ini. Setelah selesai belanja, aku mulai keluar dari pasar dengan dua tangan yang penuh dengan bahan makanan. Tapi saat hampir keluar, aku tak sengaja menabrak seseorang karena bawaanku yang terlalu berat. “Astaghfirullah.” Ucap kami bersamaan. Semua bahan makanan pun jatuh berserakan di tanah, aku mulai memunguti belanjaanku. Sambil berkali-kali berucap “Afwan ya akhi”. Ya seperti yang kalian fikirkan, aku tak sengaja menabrak seorang santri putra. “Ana yang harus minta maaf karena ana yang terburu-buru.” Ucapnya sambil membantuku memunguti belanjaan. Hal itu membuatku semakin menundukkan kepala karena teringat pesan nenek. Saat sudah beres, aku langsung berlari menuju ke Shila yang sedang membeli beras. Entah, darahku berdesir saat sadar melihat senyum tercetak pada bibir santri putra tadi.

“Sudahkah ukhti?” tanya Shila mengagetkanku. Akupun menoleh ke arah Shila, sontak kulihat Shila tertawa manis. “Kamu habis ngapain? Kok pipinya jadi humaira-humaira gini?” Ucapnya membuatku melotot. Apa benar pipiku merah? Malunya aku.

Dua bulan berlalu, Sudah tiga bulan bunda dan Kak Syifa tak menjengukku. Tapi seminggu lalu, nenek menjengukku bersama sopirnya. Saat aku bertanya kepada nenek, nenek hanya berkata ‘Mereka baik-baik saja, Dek’. Kali ini aku mendapatkan jadwal ro’an untuk membersihkan halaman depan. Saat berada di bawah pohon belimbing samping ndalem, ada sebuah motor yang berhenti tak jauh dariku. Saat aku mendongak, degup jantungku berpacu. “Dia lagi.” Ucapku dalam hati. “Assalamu’alaikum ukhti, apa pak kyai ada di ndalem?” ucapannya membuatku terlonjak. “Waalaikumsalam akhi. Iya, Abah ada di dalam.” Ucapku sambil menunduk. “Ukhti, saya boleh tau nama ukhti?” tanyanya malah membuatku terdiam. “Tidak boleh ya.” Ucapnya membuatku merasa bersalah. Aku menghela napas lalu berkata, “Hazra.” Ucapku singkat. Dan ketika kulihat halaman sudah bersih, akupun begegas meninggalkannya. Tak baik apabila ada seorang wanita berada di dekat seorang pria yang bukan mahromnya. “Gilang” teriak santri putra itu dengan lantang. Padahal kan aku gak tanya. Aku yang sempat terhenti akhirnya melanjutkan perjalanan menuju ke asrama pesantren. Setelah meletakkan sapu lidi ke tempatnya, aku naik menuju ke kamar kayuku. Aku berniat membersihkan kamar. Tapi saat baru saja masuk, Kak Diyah langsung menyeretku menuju ke dinding dengan keras yang membuat suara ‘Dugh’ dengan keras. “Kenapa kau selalu merebut kebahagiaanku, Ara.” Pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. “Kebahagiaan apa, Kak?” tanyaku sambil menahan sakit di punggungku. “Jangan bicara sedikitpun. Aku akan menceritakan semuanya.” Ucapnya dengan nada serak, saat ku mendongak ternyata dia sedang menangis. “Sebelum kamu lahir, aku adalah cucu kesayangan nenek. Tapi tak lama, saat menginjak madrasah ibtidaiyah aku merasa kasih sayang nenek berpindah ke dirimu. Bahkan almarhum mamaku juga sama. Aku bingung, apa yang membuat mereka selalu memperhatikan dirimu yang tak pernah tau agama ini.” Ucap Kak Diyah membuat hatiku sakit. “Kamu memperoleh semuanya. Bahkan mereka semua menitipkanmu padaku, memangnya aku siapa? Bodyguardmu? Dan sekarang kau merebut kebahagiaanku lagi, Ra. Kau merebut Gus Gilang dariku. Apa yang dia lihat dari gadis cuek sepertimu?” Ucapnya membuatku kalut karena tangisnya yang semakin deras. “Kau bahkan belum tau tentang suatu hal. Bunda dan Kakak kesayanganmu telah meninggal seminggu setelah kau dititipkan di pesantren ini.” Ucapannya membuatku yang berdiri melorot memeluk lututku. Jadi itu alasannya mengapa mereka tak pernah ke sini? Karena mereka tak bisa menjengukku selamanya. Mengapa semua merahasiakan ini? Bunda… Kak Syifa… Ara kangen. Ucapku menangis dengan memeluk kedua lututku.  Di umur delapan belas tahun ini, aku kembali merasakan kehilangan. Anggap saja aku memang egois, tapi aku memang tak mau sendiri. Kudengar suara pintu tertutup dengan keras. Kurasa Kak Diyah sedang meredakan emosinya sekarang.

Dua jam setelah penjelasan Kak Diyah, semua santri putri meminta maaf kepadaku atas perlakuan mereka. Mereka juga berkata bahwa sedari tiga bulan yang lalu mereka ingin berteman baik denganku tetapi Kak Diyah selalu meminta mereka menjauhiku. Ini juga tak semua kesalahan Kak Diyah, karena aku tahu bahwa hatinya kalah dengan hasud. Semua santri putri juga tau bahwa bunda dan kakakku meninggal seminggu setelah aku nyantri di pesantren kecil ini tetapi mereka tak ada yang memberi tau diriku termasuk Shila.

Shila saat ini tengah memelukku yang masih menangisi orang tersayangku di balkon. “Afwan ya, Ra. Ana gak bermaksud buat bohong. Ana hanya tidak mau kamu bersedih.” Kata Shila semakin memelukku erat. “Tapi setidaknya ukhti tak usah ikut berbohong kepada ana. Dengan kebohongan ini malah ana merasa sangat sakit. Lebih baik jujur meski itu menyakitkan.” Kataku dengan tatapan masih terkunci oleh langit yang cerah. Kurasakan ada dua tangan lagi yang memelukku erat, “Maafin kakak juga, Dek.” 

Dua tahun lebih delapan bulan kemudian, Di pondok mungil yang letaknya diujung kota ini. Aku berhasil wisuda hafalan. Tak mudah untuk menggapainya, oleh karena itu aku akan mempertahankannya. Dan proses menggapainya dipenuhi oleh godaan-godaan yang tak terduga. Tapi Alhamdulillah aku mampu melewatinya. Selama tiga tahun belajar di pesantren ini, aku menemukan semua hal yang tak bisa kucapai saat sebelum aku nyantri. Dari sahabat sampai ilmu agama yang sangat mulia ini. Aku memang masih belum bisa menjadi muslimah terbaik, tapi aku yakin dengan usaha semua akan ada hasilnya. Selama tiga tahun ini juga aku terkadang nakal sehingga membuat Kak Diyah dan Shila menghela napas kasar karena ulahku. Aku sering terkena ta’zir dari para pengurus bahkan pernah dari pengasuh karena gelarku yang sangat cantik yaitu Ummu naum dan Ummu Akl. Tapi memang ini lah diriku, aku bukan manusia yang tak luput dari salah dan lupa. Bahkan ta’zir yang sangat membekas di pikiranku ketika aku terkena ta’zir karena ulah anak dari pengasuh pesantren putra. Saat itu aku di guyur oleh bu nyai dengan air comberan yang sangat bau. Tapi aku hanya mendapatkan satu guyuran karena sang Gus meminta itu kepada Ummi mengingat perempuan harus dimuliakan. Mulai saat itu, aku merasakan sesuatu yang aneh bila bertemu dengan Gus Gilang. Aku tau apa namanya, tetapi aku lebih memilih untuk memendam perasaan ini. Aku terinspirasi oleh cerita Ali dan Fatimah. Aku hanya bisa berdoa di sepertiga malam terakhir kepada Allah.

“Kepada Hazra Aizha dipersilahkan untuk menuju ke atas panggung.” Ucap pembawa acara yang membuatku sadar. Akupun dengan segera menuju ke atas. Setelah berada di atas para pengasuh mulai membacakan suatu ayat yang berasal dari Al-Qur’an dan akupun melanjutkan ayat tersebut sampai tiga ayat kedepannya. Tidak hanya ada satu penguji tapi ada Sembilan penguji dan yang terakhir adalah Gus Gilang. Ia tak membacakan ayat tapi dia hanya menyuruhku untuk melafadzkan suatu ayat yang sangat tak asing di bibirku ‘Ar-Rum ayat 21’. Aku menutup mataku dan mulai melafadzkannya. Setelah selesai akupun menuju ke arah pengasuh pesantren putra-putri dan pemilik pesantren untuk mendapatkan piagam hafalan. Setelah itu akupun turun ke tempat dimana Nenek Rahma, Kak Diyah dan anaknya. Yah, Kak Diyah telah menikah dan mempunyai satu anak laki-laki yang sangat menggemaskan. Sebulan setelah kejadian dimana Kak Diyah menjelaskan kejengkelannya, ada seorang Gus datang ke rumah nenek untuk meminangnya. Dan Gus  itu adalah putra dari pengasuh pesantren kecil ini yang sudah empat tahun belajar di Kairo. Aku memeluk nenek dan Kak Diyah dengan erat, mereka adalah keluarga yang sangat kusayangi. Aku tak menyangka sikap cuekku hilang tak bersisa, malah aku yang sekarang terkenal sebagai gadis yang cerewet.

Ketika acara ini selesai, aku berlari menuju ke Shila dan memeluknya. Dia adalah sahabat terbaik selama aku hidup nyantri di pondok mungil ini. Kami pun berfoto mencoba mengabadikan hari bahagia ini. Aku tersenyum senang, apalagi saat mengingat Gus Gilang yang menyuruhku membaca ayat tentang kebesaran Allah dalam menciptakan hidup berpasang-pasangan pada makhluk-Nya.

“Terimakasih bunda, Kak Syifa, dan Nek Rahma berkat kalian Ara bisa berubah menjadi muslimah yang baik. Meski dalam perjalanannya sangat membuat Ara sangat sakit. Tapi orang sukses butuh perjuangan. Dan maafkan masa lalu Ara yang sangat menjengkelkan. Dan terimakasih lagi karena telah menggiring diri Ara untuk masuk ke dalam pesantren mungil ini. Tempat dimana Ara berubah karena Allah.” Ucapku dalam hati sampai tak mengira ada yang jatuh meluncur di pipiku. Ara sayang kalian.

Hingga suatu kalimat membuatku membeku di tempat.

“Hazra Aizha, maukah kau menyempurnakan separuh agama bersamaku Muhammad Gilang Ubaidillah?”

Tamat