Pesantren,
Terimakasih atas Perubahanku
“Dek… Mau kemana?” tanya Nenek Rahma kepadaku yang tengah berlari
mengejar temanku. “Ara mau ngejar Zidan.
Dia lagi bawa bola sepak Ara, Nek.” Ucapku dengan polos kepada nenekku.
Nenekpun menutup Al-Qur’an yang tengah dibacanya dan menggerakkan tangannya
seolah menyuruhku mendekatinya. “Sini Dek!” pinta nenek sambil memukul pelan
tempat duduk di sampingnya. Akupun mendekat sambil mendudukkan diri di tempat tersebut.
“Adek mau nggak berubah?” pertanyaan nenek hanya aku balas kerutan di dahiku karena aku tdak mengerti
apa maksud dari perkataannya. “Nenek mau Adek berubah jadi Muslimah yang
sholehah. Gak kayak anak laki-laki seperti ini. Adek mau kan?” tawar nenek
dengan senyuman yang amat indah. “Caranya gimana, Nek?” tanyaku polos. “Kamu
maukan setelah lulus dari sekolah dasar, kamu belajar agama bersama Kak Diyah?”
pinta nenek sambil mengelus puncak kepalaku dengan sayang. Aku yang senang
melihat ekspresi nenek hanya mampu mengiyakan tanpa tau apa yang akan terjadi
kedepannya.
Hazra Aizha, itulah namaku. Sedari kecil aku tak memiliki teman
perempuan selain kakakku, Kak Syifa. Ini semua karena sikapku yang tak
mencerminkan muslimah normal bahkan untuk kata wanita rasanya masih tak pantas.
Karena sewaktu aku masih kecil, aku pernah mendengar perbincangan kedua orang
tuaku yang masih tak rela melepaskan kepergian adik laki-lakiku yang baru saja
lahir. Dengan tak adanya anak laki-laki di rumah, almarhum ayah selalu
mengajakku bermain bermacam-macam mainan yang biasanya dimainkan oleh anak
laki-laki mulai dari sepak bola sampai memancing ikan bersama. Berbeda dengan
kakakku yang lebih senang bermain boneka di rumah. Menurutku tak ada yang seru
dari memainkan benda mati yang sangat disukai oleh kakakku itu dan sangat
membosankan.
Hampir dua tahun lebih dari permintaan Nenek Rahma. Aku masih belum
mengerti apa yang dimaksud oleh beliau. Tapi aku tak terlalu
mempermasalahkannya. Aku hanya menganggap hal itu sebagai candaan iseng dari
nenek kesayanganku. Hingga aku heran melihat bundaku yang akhir-akhir ini
sering membelikanku banyak gamis, entah apa yang beliau lakukan. Padahal beliau
sangat tau bahwa aku tidak menyukai busana muslim semacam itu. Disetiap harinya
aku selalu memakai celana dan baju panjang tanpa jilbab yang tergantikan oleh topi
hitam pemberian ayah. Yah, aku sangat tidak bisa dibandingkan dengan kakakku
yang sangat feminim dan cantik itu. Tak hanya cantik Kak Syifa sangat ramah
kepada siapapun, dia memiliki hati yang sangat lembut sebagai perempuan. Aku
mungkin hanya sebuah batu hitam, dekil yang berada di pelataran rumah. Berbeda
dengan kakakku yang bisa kuumpamakan batu berlian yang bersinar terang. Semenjak
kematian ayah, sikap ceriaku mulai berubah, aku bertekad akan melindungi
wanita-wanita yang disayangi oleh ayahku. Aku berubah menjadi orang yang tak
mau tau urusan orang lain kecuali tiga orang yang amat kusayangi yaitu bunda,
nenek, dan Kak Syifa.
“Ara.” Panggil bunda kepadaku yang saat ini tengah bermain bola
basket di lapangan kecil yang berada di belakang rumah. Aku yang mendengar
panggilan itu lantas menghampiri bunda yang sedang duduk tak jauh dari
tempatku. “Ada apa bun?” tanyaku kepada bunda sambil memantul-mantulkan bola ke
lantai. “Ihh… kamu kenapa sih gak berubah-berubah dari dulu? Kamu mau kayak
gini terus? Bunda udah capek liat sikap cuek kamu itu. Pantes gak ada temen
cewek kamu yang pernah ke rumah ini. Bunda rasa mereka semua takut sama sikap
kutubmu itu.” Kata bunda dengan nada sindirnya yang langsung menggetarkan sisi
takutku. “Bun… itu bukan salah Ara kan? Kan Ara gak bisa nyari pokok
pembicaraan. Merekanya juga gak berusaha nyari.” Sanggahku sambil duduk di
lantai. “Tapi seharusnya kamu kalo ditanya teman jawabnya jangan hmm, iya,
nggak. Siapa sih yang betah di cuekin kayak gitu? Apa lagi kamu itu perempuan,
gak pantes buat cuek harusnya ramah dan sering tersenyum.” Nasihat bunda mulai
keluar. Akupun mengelak dengan berkata, “Tapi kalo senyum-senyum sendiri itu
gak sehat, Bun.”
“Gak sehat? Maksud kamu apa?” tanya bunda sambil mengerutkan
dahinya. “Jiwanya.” Ucapku dengan enteng tanpa senyum pastinya. “Kamu kira cuek
itu juga sehat?” tanya bunda membuatku membeku. Akupun mengalihkan pandangan
karena sudah kalah telak oleh bunda rempongku ini. Kulihat bunda sedang menarik
napas panjang. Kemudian ia mengelus puncak kepalaku yang masih tertutup oleh
topi. “Sayang, kamu mau kan nenek dan bunda bahagia?” tanya bunda sambil
mencoba duduk di sampingku. Aku yang mendengar pertanyaan bunda lantas dengan
cepat menganggukan kepala. Bundapun memelukku dari samping seperti mencoba
menyalurkan sedikit semangat ke tubuhku. Bundapun membuang napasnya kasar,
“Ara, mulai besok kamu akan masuk ke pesantren untuk memperbaiki sikapmu ini.”
Seketika seperti mendapat bongkahan es di perairan kutub, aku langsung
menghadap bunda. “Bundaaaa… bunda apaan sih.” Kataku tak terima. “Ara… kamu
sudah menyetujui ini dua tahun yang lalu pada nenek Rahma.”
Aku ingat, hal itu yang selama ini aku pikirkan. Kupikir nenek
hanya bercanda tapi candaan itu menjadi nyata saat ini. “Kamu juga mau kan kalo
ayah bahagia di atas sana?” ucap bunda membuatku tak dapat mengelak karena ini
adalah sebuah janjiku kepada nenekku. Akupun menangis di pelukan bunda. Kami
berdua menangis di sela-sela angin yang berbisik ria di lapangan kecil itu
Keesokan harinya. Bunda sedang menata pakaianku di dua kardus
besar. Bukan pakaianku, lebih tepatnya gamis-gamis baru yang beliau belikan
akhir-akhir ini yang tak kuduga benda itu sekarang menjadi milikku. Mungkin bunda
sudah menyiapkan ini jauh-jauh hari sehingga sekarang semua sudah selesai
terkemas rapi. Bunda yang selesai menata barangku sekarang berjalan menuju ke
arahku yang sedang menonton anime di handphoneku. Mungkin ini akan menjadi
nonton anime terakhir kali sebelum aku berangkat ke pesantren sore nanti.
“Ara.” Panggil bunda membuatku menoleh ke arahnya. “Tolong dong pakai gamis
yang ini sekarang.” Bujuk bunda sambil menunjukkanku sebuah gamis berwarna
peach dengan manik-manik putih yang menghiasi gamis tersebut. Akupun berdiri
dan mengganti pakaianku dengan gamis itu. Selesai berganti pakaian aku berjalan
ke arah bunda. Setelah berada di dekatnya, bundapun menyuruhku duduk di kursi
yang habis beliau duduki. Bundapun mengambil topi hitamku menaruhya diatas
nakas, menarik kuncir rambutku dan mulai menguncir ulang dengan letak kunciran
menjadi di dekat tengkuk. Setelah itu beliau mengambil sebuah kain panjang
berwarna putih mulai menutupi rambutku dan menancapkan sebuah jarum pentul di
dekat leherku. “Ara… bunda gak nyangka kamu bisa secantik ini.” Ucap bunda
sambil menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Akupun mengeryitkan dahi tanda
tak mengerti. Dengan sekali hentakan bunda membawaku kedepan cermin. Aku
membelalakan mata, ini benar Hazra Aizha kan?
Bundapun tersenyum melihat wajah cengoku. Tiba-tiba dari arah pintu
terdapat Kak Syifa yang baru pulang dari kostnya yang berada di kota. Kak
Syifapun langsung menghampiriku dan memelukku dengan erat. Kami berpelukan
dengan isakan tangis yang menjadi pengiringnya. Aku merasa kita akan berpisah
lama sehingga akupun membalas pelukan itu tak kalah kuat.
Pukul tiga sore, semua barang sudah tertata rapi di bagasi mobil.
Bunda dan Kak Syifa ikut mendampingiku menuju ke pesantren. Sebelum ke
pesantren, aku ingin ke rumah nenek untuk memohon doa restunya. Saat berada di depan
rumah nenek, aku langsung berlari menuju ke kamar nenek. Meski agak susah
karena aku memakai gamis yang kepanjangan ini. Sesampainya di kamar, kulihat
nenek sedang membaca sebuah kitab dengan kertas yang terlihat usang yang tak
kumengerti bagaimana membaca huruf tanpa harakat itu. Aku memeluk nenekku erat
sambil berujar, “Nek, Ara sayang banget sama nenek. Ara mau ngelaksanain janji
Ara waktu itu.”
Nenekpun mengelus puncak kepalaku yang kali ini tertutup oleh
jilbab. Dekapan nenek memberiku rasa tenang dan aman. “Dek, Nenek minta kamu
berubah ya. Ubah dirimu menjadi muslimah yang akan menjadi wanita yang
dirindukan surga. Janganlah berubah karena keterpaksaan, berubah karena Allah.
Jangan pernah menyerah untuk berhijrah meski suatu saat nanti orang-orang
menghilang, karena selalu ada Allah disetiap langkah yang kau ambil.” Nasihat
nenek sambil sedikit terbatuk-batuk. Akupun melepas pelukan itu dan tersenyum
manis ke arahnya. “Eiittss… jangan lupa untuk tersenyum kepada sesama dan
tundukkan pandanganmu pada yang bukan makhrommu.” Lanjutnya dengan nada yang
tegas. “Iya nek, Ara sayang nenek.” Ucapku sambil memeluknya kembali.
Setengah jam kemudian, di sinilah aku. Di sebuah pesantren mungil
yang berada di ujung kota. Kulihat lalu lalang para santri putri yang memakai
almamater pesantren tersebut. Ada sesuatu di dalam tubuhku yang bergetar ketika
melihat para santri yang berlalu-lalang tersebut. Akupun terlonjak ketika
kurasakan tangan mungil kakakku melingkar manis di bahuku. Rasanya diriku sulit
untuk melepaskan kenyamanan yang telah diberikan keluarga kecilku ini. Meski
sifatku yang cuek kepada teman-temanku tapi aku takkan pernah lupa bahagia bila
dengan keluargaku karena hanya mereka yang mampu membuatku nyaman. Setelah
menitipkanku ke pak kyai dan bu nyai, bunda dan Kak Syifa pamit untuk pulang.
Disini santri putri dan putra berbeda tempat, yang putri yang kutempati ini dan
yang putra berada dua ratus meter dari pesantren putri. Hal itu yang kudengar
dari para pengasuh kepada bundaku tadi. Para pengurus mengantarkanku menuju ke
kamar yang berada di lantai dua. Di lantai dua aku merasa berada di rumah
pohon, bagaimana tidak apabila dari tangga, lantai sampai dinding pembatasnya
terbuat dari kayu. Kulihat pesantren ini sangat kecil dan terdiri dari tiga
tingkat. Aku berada di kamar ini karena di dalamnya terdapat Kak Diyah,
sepupuku. Aku membereskan pakaianku pada almari kecil yang sudah bertuliskan
namaku. Beberapa saat kemudian, banyak santri yang mulai mengerubungiku. Ada
apa ini? Merekapun mulai memperkenalkan diri mereka. Tapi aku yang masih
bingung hanya bisa menatap mereka sambil mengernyitkan dahi. Mereka yang
kelihatannya gak nyaman denganku mulai pergi dari kerumunan itu dan menyisakan
satu santri dengan gamis berwarna biru terang dan jilbab hitam yang melekat
sempurna di wajah ayunya. Tiba-tiba santri tersebut mengajukan tangannya,
akupun menyambutnya dengan gugup. Dia mulai berbicara, “Assalamu’alaikum ukhti,
perkenalkan nama ana Marshilatul Madiva. Ukhti bisa panggil ana Shila.”
“Ma.. maaf sebelumnya. Tapi nama saya bukan ukhti.” Ucapku agak
gugup takut salah. Kulihat dia tersenyum lucu, “Afwan. Maksud ana ukhti itu
bahasa arab dari saudara perempuan, ana itu artinya saya, dan afwan itu artinya
maaf.” Ucapnya sambil memperlihatkan lesung pipinya. Tak kurasa aku ikut
tersenyum melihatnya. “Emang harus gitu ya?” tanyaku. Diapun mengernyitkan dahi
tanda tak paham, “maksud kamu? Eh maksud kamu?”
“Emang harus pakai bahasa campur-campur kayak gitu? Disini gak
wajib kan pake bahasa arab?” tanyaku takut-takut. “Kan aku gak bisa bahasa arab
sama sekali. Tapi bodoamat lah, siapa juga yang mau ngomong sama aku kalo bukan
dia.” Ucapku dalam hati sambil melirik ke arah orang yang sok kenal sok dekat
bernama Shila itu.
“Tidak, kamu disini bebas pakai bahasa apa. Tapi khusus kepada pak
kyai dan bu nyai kamu harus pakai bahasa jawa yang halus. Karena itu adalah
tata krama kita kepada para pengasuh.” Jawabnya dengan bahasa Indonesia yang
mudah kemengerti. “Terus, kenapa kamu tadi bicara pake bahasa arab campur
bahasa Indonesia?” tanyaku penasaran. “Di tempat ini memang begini, nanti
lama-kelamaan kamu juga terbiasa menggunakan bahasa arab. Aku juga masih
belajar sedikit-sedikit.” Ucapnya sambil tersenyum tulus. “Ngomong-ngomong
kenapa aku malah banyak bicara seperti ini?” teriak batinku.
Malam harinya, Shila mengajakku ke balkon panjang yang langsung
menghadap ke langit malam yang indah dengan gemerlap bintang. “Ukhti Ara.”
Panggil Shila membuatku menoleh ke arahnya. “Kudengar kamu sepupunya Kak Diyah
ya? Tapi mengapa ana merasa ia tak pernah mencoba berbicara dengan kamu?”
tanyanya dengan tatapan polos. Aku menghembuskan napas pelan, “Aku sendiri
tidak tau, Shil.”
Aku tak pernah tau, sedari kecil Kak Diyah selalu begitu. Entah apa
yang tak ia suka dari diriku. Seakan dari kecil aku selalu salah. Aku yang
sudah tak ingin memikirkan itu lagi, meninggalkan Shila menuju ke arah kamar
kayuku. Mungkin Shila sudah mulai mengerti sikap cuekku untuk saat ini. Tapi
memang inilah aku. Sesampainya di kamar, ada sekitar tujuh santri yang berada
didalamnya termasuk Kak Diyah. Aku masuk dan duduk di depan almariku. Ku dengar
mereka sedang membicarakan seorang anak dari pengasuh pesantren. Tapi apa
urusanku? Aku yang tak mengerti kemana arah pembicaraan mereka mulai terlelap
dalam posisi duduk.
Sudah sekitar satu bulan aku berada di pesantren mungil ini. Aku
mulai terbiasa dengan bahasa arab-indonesia kepada ukhti-ukhti, bahasa jawa
halus kepada pengasuh, antrian mandi dan makan, baca Al-Qur’an dan kitab
kuning, dan kegemaran baruku yang membuatku dipanggil para ustadz dengan
sebutan “Ummu Naum” dan “Ummu Akl”. Bagaimana tidak mengantuk setiap saat? Aku
baru tidur pukul sebelas malam selesai ngaji malam dan terbangun pukul dua
untuk melaksanakan sholat tahajjud jamaah. Setelah sholat tahajjud, semua
santri putri disini melanjutkan membaca yassin tiga kali secara serempak.
Setelahnya santri bebas selama setengah jam untuk mandi, sahur bagi yang
berpuasa, ataupun memantapkan hafalan di musholla kecil di lantai dasar. Dan
sudah sebulan ini, Kak Diyah masih enggan berbicara panjang lebar denganku.
Pagi ini, aku kebagian jadwal membeli bahan makanan ke pasar yang
tak jauh dari pondok mungkin sekitar tiga ratus meter. Aku mengajak Shila, ya
sampai sebulah ini hanya Shila yang mau berbicara denganku. Karena tak ada yang
betah denganku yang cuek ini. Setelah selesai belanja, aku mulai keluar dari
pasar dengan dua tangan yang penuh dengan bahan makanan. Tapi saat hampir
keluar, aku tak sengaja menabrak seseorang karena bawaanku yang terlalu berat.
“Astaghfirullah.” Ucap kami bersamaan. Semua bahan makanan pun jatuh berserakan
di tanah, aku mulai memunguti belanjaanku. Sambil berkali-kali berucap “Afwan
ya akhi”. Ya seperti yang kalian fikirkan, aku tak sengaja menabrak seorang
santri putra. “Ana yang harus minta maaf karena ana yang terburu-buru.” Ucapnya
sambil membantuku memunguti belanjaan. Hal itu membuatku semakin menundukkan
kepala karena teringat pesan nenek. Saat sudah beres, aku langsung berlari
menuju ke Shila yang sedang membeli beras. Entah, darahku berdesir saat sadar
melihat senyum tercetak pada bibir santri putra tadi.
“Sudahkah ukhti?” tanya Shila mengagetkanku. Akupun menoleh ke arah
Shila, sontak kulihat Shila tertawa manis. “Kamu habis ngapain? Kok pipinya
jadi humaira-humaira gini?” Ucapnya membuatku melotot. Apa benar pipiku merah?
Malunya aku.
Dua bulan berlalu, Sudah tiga bulan bunda dan Kak Syifa tak
menjengukku. Tapi seminggu lalu, nenek menjengukku bersama sopirnya. Saat aku
bertanya kepada nenek, nenek hanya berkata ‘Mereka baik-baik saja, Dek’. Kali
ini aku mendapatkan jadwal ro’an untuk membersihkan halaman depan. Saat berada
di bawah pohon belimbing samping ndalem, ada sebuah motor yang berhenti tak
jauh dariku. Saat aku mendongak, degup jantungku berpacu. “Dia lagi.” Ucapku
dalam hati. “Assalamu’alaikum ukhti, apa pak kyai ada di ndalem?” ucapannya
membuatku terlonjak. “Waalaikumsalam akhi. Iya, Abah ada di dalam.” Ucapku
sambil menunduk. “Ukhti, saya boleh tau nama ukhti?” tanyanya malah membuatku
terdiam. “Tidak boleh ya.” Ucapnya membuatku merasa bersalah. Aku menghela
napas lalu berkata, “Hazra.” Ucapku singkat. Dan ketika kulihat halaman sudah
bersih, akupun begegas meninggalkannya. Tak baik apabila ada seorang wanita
berada di dekat seorang pria yang bukan mahromnya. “Gilang” teriak santri putra
itu dengan lantang. Padahal kan aku gak tanya. Aku yang sempat terhenti
akhirnya melanjutkan perjalanan menuju ke asrama pesantren. Setelah meletakkan
sapu lidi ke tempatnya, aku naik menuju ke kamar kayuku. Aku berniat
membersihkan kamar. Tapi saat baru saja masuk, Kak Diyah langsung menyeretku
menuju ke dinding dengan keras yang membuat suara ‘Dugh’ dengan keras. “Kenapa
kau selalu merebut kebahagiaanku, Ara.” Pertanyaan itu terlontar dari mulutnya.
“Kebahagiaan apa, Kak?” tanyaku sambil menahan sakit di punggungku. “Jangan
bicara sedikitpun. Aku akan menceritakan semuanya.” Ucapnya dengan nada serak,
saat ku mendongak ternyata dia sedang menangis. “Sebelum kamu lahir, aku adalah
cucu kesayangan nenek. Tapi tak lama, saat menginjak madrasah ibtidaiyah aku
merasa kasih sayang nenek berpindah ke dirimu. Bahkan almarhum mamaku juga
sama. Aku bingung, apa yang membuat mereka selalu memperhatikan dirimu yang tak
pernah tau agama ini.” Ucap Kak Diyah membuat hatiku sakit. “Kamu memperoleh
semuanya. Bahkan mereka semua menitipkanmu padaku, memangnya aku siapa?
Bodyguardmu? Dan sekarang kau merebut kebahagiaanku lagi, Ra. Kau merebut Gus
Gilang dariku. Apa yang dia lihat dari gadis cuek sepertimu?” Ucapnya membuatku
kalut karena tangisnya yang semakin deras. “Kau bahkan belum tau tentang suatu
hal. Bunda dan Kakak kesayanganmu telah meninggal seminggu setelah kau
dititipkan di pesantren ini.” Ucapannya membuatku yang berdiri melorot memeluk
lututku. Jadi itu alasannya mengapa mereka tak pernah ke sini? Karena mereka
tak bisa menjengukku selamanya. Mengapa semua merahasiakan ini? Bunda… Kak
Syifa… Ara kangen. Ucapku menangis dengan memeluk kedua lututku. Di umur delapan belas tahun ini, aku kembali
merasakan kehilangan. Anggap saja aku memang egois, tapi aku memang tak mau
sendiri. Kudengar suara pintu tertutup dengan keras. Kurasa Kak Diyah sedang
meredakan emosinya sekarang.
Dua jam setelah penjelasan Kak Diyah, semua santri putri meminta
maaf kepadaku atas perlakuan mereka. Mereka juga berkata bahwa sedari tiga
bulan yang lalu mereka ingin berteman baik denganku tetapi Kak Diyah selalu
meminta mereka menjauhiku. Ini juga tak semua kesalahan Kak Diyah, karena aku
tahu bahwa hatinya kalah dengan hasud. Semua santri putri juga tau bahwa bunda
dan kakakku meninggal seminggu setelah aku nyantri di pesantren kecil ini
tetapi mereka tak ada yang memberi tau diriku termasuk Shila.
Shila saat ini tengah memelukku yang masih menangisi orang
tersayangku di balkon. “Afwan ya, Ra. Ana gak bermaksud buat bohong. Ana hanya
tidak mau kamu bersedih.” Kata Shila semakin memelukku erat. “Tapi setidaknya
ukhti tak usah ikut berbohong kepada ana. Dengan kebohongan ini malah ana
merasa sangat sakit. Lebih baik jujur meski itu menyakitkan.” Kataku dengan
tatapan masih terkunci oleh langit yang cerah. Kurasakan ada dua tangan lagi
yang memelukku erat, “Maafin kakak juga, Dek.”
Dua tahun lebih delapan bulan kemudian, Di pondok mungil yang
letaknya diujung kota ini. Aku berhasil wisuda hafalan. Tak mudah untuk
menggapainya, oleh karena itu aku akan mempertahankannya. Dan proses
menggapainya dipenuhi oleh godaan-godaan yang tak terduga. Tapi Alhamdulillah
aku mampu melewatinya. Selama tiga tahun belajar di pesantren ini, aku
menemukan semua hal yang tak bisa kucapai saat sebelum aku nyantri. Dari
sahabat sampai ilmu agama yang sangat mulia ini. Aku memang masih belum bisa
menjadi muslimah terbaik, tapi aku yakin dengan usaha semua akan ada hasilnya.
Selama tiga tahun ini juga aku terkadang nakal sehingga membuat Kak Diyah dan
Shila menghela napas kasar karena ulahku. Aku sering terkena ta’zir dari para
pengurus bahkan pernah dari pengasuh karena gelarku yang sangat cantik yaitu
Ummu naum dan Ummu Akl. Tapi memang ini lah diriku, aku bukan manusia yang tak
luput dari salah dan lupa. Bahkan ta’zir yang sangat membekas di pikiranku
ketika aku terkena ta’zir karena ulah anak dari pengasuh pesantren putra. Saat
itu aku di guyur oleh bu nyai dengan air comberan yang sangat bau. Tapi aku
hanya mendapatkan satu guyuran karena sang Gus meminta itu kepada Ummi
mengingat perempuan harus dimuliakan. Mulai saat itu, aku merasakan sesuatu
yang aneh bila bertemu dengan Gus Gilang. Aku tau apa namanya, tetapi aku lebih
memilih untuk memendam perasaan ini. Aku terinspirasi oleh cerita Ali dan
Fatimah. Aku hanya bisa berdoa di sepertiga malam terakhir kepada Allah.
“Kepada Hazra Aizha dipersilahkan untuk menuju ke atas panggung.”
Ucap pembawa acara yang membuatku sadar. Akupun dengan segera menuju ke atas.
Setelah berada di atas para pengasuh mulai membacakan suatu ayat yang berasal
dari Al-Qur’an dan akupun melanjutkan ayat tersebut sampai tiga ayat
kedepannya. Tidak hanya ada satu penguji tapi ada Sembilan penguji dan yang
terakhir adalah Gus Gilang. Ia tak membacakan ayat tapi dia hanya menyuruhku
untuk melafadzkan suatu ayat yang sangat tak asing di bibirku ‘Ar-Rum ayat 21’.
Aku menutup mataku dan mulai melafadzkannya. Setelah selesai akupun menuju ke
arah pengasuh pesantren putra-putri dan pemilik pesantren untuk mendapatkan
piagam hafalan. Setelah itu akupun turun ke tempat dimana Nenek Rahma, Kak
Diyah dan anaknya. Yah, Kak Diyah telah menikah dan mempunyai satu anak
laki-laki yang sangat menggemaskan. Sebulan setelah kejadian dimana Kak Diyah
menjelaskan kejengkelannya, ada seorang Gus datang ke rumah nenek untuk
meminangnya. Dan Gus itu adalah putra
dari pengasuh pesantren kecil ini yang sudah empat tahun belajar di Kairo. Aku
memeluk nenek dan Kak Diyah dengan erat, mereka adalah keluarga yang sangat
kusayangi. Aku tak menyangka sikap cuekku hilang tak bersisa, malah aku yang
sekarang terkenal sebagai gadis yang cerewet.
Ketika acara ini selesai, aku berlari menuju ke Shila dan
memeluknya. Dia adalah sahabat terbaik selama aku hidup nyantri di pondok
mungil ini. Kami pun berfoto mencoba mengabadikan hari bahagia ini. Aku
tersenyum senang, apalagi saat mengingat Gus Gilang yang menyuruhku membaca
ayat tentang kebesaran Allah dalam menciptakan hidup berpasang-pasangan pada
makhluk-Nya.
“Terimakasih bunda, Kak Syifa, dan Nek Rahma berkat kalian Ara bisa
berubah menjadi muslimah yang baik. Meski dalam perjalanannya sangat membuat
Ara sangat sakit. Tapi orang sukses butuh perjuangan. Dan maafkan masa lalu Ara
yang sangat menjengkelkan. Dan terimakasih lagi karena telah menggiring diri
Ara untuk masuk ke dalam pesantren mungil ini. Tempat dimana Ara berubah karena
Allah.” Ucapku dalam hati sampai tak mengira ada yang jatuh meluncur di pipiku.
Ara sayang kalian.
Hingga suatu kalimat membuatku membeku di tempat.
“Hazra Aizha, maukah kau menyempurnakan separuh agama bersamaku
Muhammad Gilang Ubaidillah?”
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar