Cari Blog Ini

Jumat, 18 Oktober 2019

Pesantren, Terimakasih atas Perubahanku karya Indanarizha_


Pesantren, Terimakasih atas Perubahanku


“Dek… Mau kemana?” tanya Nenek Rahma kepadaku yang tengah berlari mengejar temanku.  “Ara mau ngejar Zidan. Dia lagi bawa bola sepak Ara, Nek.” Ucapku dengan polos kepada nenekku. Nenekpun menutup Al-Qur’an yang tengah dibacanya dan menggerakkan tangannya seolah menyuruhku mendekatinya. “Sini Dek!” pinta nenek sambil memukul pelan tempat duduk di sampingnya. Akupun mendekat sambil mendudukkan diri di tempat tersebut. “Adek mau nggak berubah?” pertanyaan nenek hanya aku balas  kerutan di dahiku karena aku tdak mengerti apa maksud dari perkataannya. “Nenek mau Adek berubah jadi Muslimah yang sholehah. Gak kayak anak laki-laki seperti ini. Adek mau kan?” tawar nenek dengan senyuman yang amat indah. “Caranya gimana, Nek?” tanyaku polos. “Kamu maukan setelah lulus dari sekolah dasar, kamu belajar agama bersama Kak Diyah?” pinta nenek sambil mengelus puncak kepalaku dengan sayang. Aku yang senang melihat ekspresi nenek hanya mampu mengiyakan tanpa tau apa yang akan terjadi kedepannya.

Hazra Aizha, itulah namaku. Sedari kecil aku tak memiliki teman perempuan selain kakakku, Kak Syifa. Ini semua karena sikapku yang tak mencerminkan muslimah normal bahkan untuk kata wanita rasanya masih tak pantas. Karena sewaktu aku masih kecil, aku pernah mendengar perbincangan kedua orang tuaku yang masih tak rela melepaskan kepergian adik laki-lakiku yang baru saja lahir. Dengan tak adanya anak laki-laki di rumah, almarhum ayah selalu mengajakku bermain bermacam-macam mainan yang biasanya dimainkan oleh anak laki-laki mulai dari sepak bola sampai memancing ikan bersama. Berbeda dengan kakakku yang lebih senang bermain boneka di rumah. Menurutku tak ada yang seru dari memainkan benda mati yang sangat disukai oleh kakakku itu dan sangat membosankan.

Hampir dua tahun lebih dari permintaan Nenek Rahma. Aku masih belum mengerti apa yang dimaksud oleh beliau. Tapi aku tak terlalu mempermasalahkannya. Aku hanya menganggap hal itu sebagai candaan iseng dari nenek kesayanganku. Hingga aku heran melihat bundaku yang akhir-akhir ini sering membelikanku banyak gamis, entah apa yang beliau lakukan. Padahal beliau sangat tau bahwa aku tidak menyukai busana muslim semacam itu. Disetiap harinya aku selalu memakai celana dan baju panjang tanpa jilbab yang tergantikan oleh topi hitam pemberian ayah. Yah, aku sangat tidak bisa dibandingkan dengan kakakku yang sangat feminim dan cantik itu. Tak hanya cantik Kak Syifa sangat ramah kepada siapapun, dia memiliki hati yang sangat lembut sebagai perempuan. Aku mungkin hanya sebuah batu hitam, dekil yang berada di pelataran rumah. Berbeda dengan kakakku yang bisa kuumpamakan batu berlian yang bersinar terang. Semenjak kematian ayah, sikap ceriaku mulai berubah, aku bertekad akan melindungi wanita-wanita yang disayangi oleh ayahku. Aku berubah menjadi orang yang tak mau tau urusan orang lain kecuali tiga orang yang amat kusayangi yaitu bunda, nenek, dan Kak Syifa.

“Ara.” Panggil bunda kepadaku yang saat ini tengah bermain bola basket di lapangan kecil yang berada di belakang rumah. Aku yang mendengar panggilan itu lantas menghampiri bunda yang sedang duduk tak jauh dari tempatku. “Ada apa bun?” tanyaku kepada bunda sambil memantul-mantulkan bola ke lantai. “Ihh… kamu kenapa sih gak berubah-berubah dari dulu? Kamu mau kayak gini terus? Bunda udah capek liat sikap cuek kamu itu. Pantes gak ada temen cewek kamu yang pernah ke rumah ini. Bunda rasa mereka semua takut sama sikap kutubmu itu.” Kata bunda dengan nada sindirnya yang langsung menggetarkan sisi takutku. “Bun… itu bukan salah Ara kan? Kan Ara gak bisa nyari pokok pembicaraan. Merekanya juga gak berusaha nyari.” Sanggahku sambil duduk di lantai. “Tapi seharusnya kamu kalo ditanya teman jawabnya jangan hmm, iya, nggak. Siapa sih yang betah di cuekin kayak gitu? Apa lagi kamu itu perempuan, gak pantes buat cuek harusnya ramah dan sering tersenyum.” Nasihat bunda mulai keluar. Akupun mengelak dengan berkata, “Tapi kalo senyum-senyum sendiri itu gak sehat, Bun.”

“Gak sehat? Maksud kamu apa?” tanya bunda sambil mengerutkan dahinya. “Jiwanya.” Ucapku dengan enteng tanpa senyum pastinya. “Kamu kira cuek itu juga sehat?” tanya bunda membuatku membeku. Akupun mengalihkan pandangan karena sudah kalah telak oleh bunda rempongku ini. Kulihat bunda sedang menarik napas panjang. Kemudian ia mengelus puncak kepalaku yang masih tertutup oleh topi. “Sayang, kamu mau kan nenek dan bunda bahagia?” tanya bunda sambil mencoba duduk di sampingku. Aku yang mendengar pertanyaan bunda lantas dengan cepat menganggukan kepala. Bundapun memelukku dari samping seperti mencoba menyalurkan sedikit semangat ke tubuhku. Bundapun membuang napasnya kasar, “Ara, mulai besok kamu akan masuk ke pesantren untuk memperbaiki sikapmu ini.” Seketika seperti mendapat bongkahan es di perairan kutub, aku langsung menghadap bunda. “Bundaaaa… bunda apaan sih.” Kataku tak terima. “Ara… kamu sudah menyetujui ini dua tahun yang lalu pada nenek Rahma.”

Aku ingat, hal itu yang selama ini aku pikirkan. Kupikir nenek hanya bercanda tapi candaan itu menjadi nyata saat ini. “Kamu juga mau kan kalo ayah bahagia di atas sana?” ucap bunda membuatku tak dapat mengelak karena ini adalah sebuah janjiku kepada nenekku. Akupun menangis di pelukan bunda. Kami berdua menangis di sela-sela angin yang berbisik ria di lapangan kecil itu

Keesokan harinya. Bunda sedang menata pakaianku di dua kardus besar. Bukan pakaianku, lebih tepatnya gamis-gamis baru yang beliau belikan akhir-akhir ini yang tak kuduga benda itu sekarang menjadi milikku. Mungkin bunda sudah menyiapkan ini jauh-jauh hari sehingga sekarang semua sudah selesai terkemas rapi. Bunda yang selesai menata barangku sekarang berjalan menuju ke arahku yang sedang menonton anime di handphoneku. Mungkin ini akan menjadi nonton anime terakhir kali sebelum aku berangkat ke pesantren sore nanti. “Ara.” Panggil bunda membuatku menoleh ke arahnya. “Tolong dong pakai gamis yang ini sekarang.” Bujuk bunda sambil menunjukkanku sebuah gamis berwarna peach dengan manik-manik putih yang menghiasi gamis tersebut. Akupun berdiri dan mengganti pakaianku dengan gamis itu. Selesai berganti pakaian aku berjalan ke arah bunda. Setelah berada di dekatnya, bundapun menyuruhku duduk di kursi yang habis beliau duduki. Bundapun mengambil topi hitamku menaruhya diatas nakas, menarik kuncir rambutku dan mulai menguncir ulang dengan letak kunciran menjadi di dekat tengkuk. Setelah itu beliau mengambil sebuah kain panjang berwarna putih mulai menutupi rambutku dan menancapkan sebuah jarum pentul di dekat leherku. “Ara… bunda gak nyangka kamu bisa secantik ini.” Ucap bunda sambil menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Akupun mengeryitkan dahi tanda tak mengerti. Dengan sekali hentakan bunda membawaku kedepan cermin. Aku membelalakan mata, ini benar Hazra Aizha kan?

Bundapun tersenyum melihat wajah cengoku. Tiba-tiba dari arah pintu terdapat Kak Syifa yang baru pulang dari kostnya yang berada di kota. Kak Syifapun langsung menghampiriku dan memelukku dengan erat. Kami berpelukan dengan isakan tangis yang menjadi pengiringnya. Aku merasa kita akan berpisah lama sehingga akupun membalas pelukan itu tak kalah kuat.

Pukul tiga sore, semua barang sudah tertata rapi di bagasi mobil. Bunda dan Kak Syifa ikut mendampingiku menuju ke pesantren. Sebelum ke pesantren, aku ingin ke rumah nenek untuk memohon doa restunya. Saat berada di depan rumah nenek, aku langsung berlari menuju ke kamar nenek. Meski agak susah karena aku memakai gamis yang kepanjangan ini. Sesampainya di kamar, kulihat nenek sedang membaca sebuah kitab dengan kertas yang terlihat usang yang tak kumengerti bagaimana membaca huruf tanpa harakat itu. Aku memeluk nenekku erat sambil berujar, “Nek, Ara sayang banget sama nenek. Ara mau ngelaksanain janji Ara waktu itu.”

Nenekpun mengelus puncak kepalaku yang kali ini tertutup oleh jilbab. Dekapan nenek memberiku rasa tenang dan aman. “Dek, Nenek minta kamu berubah ya. Ubah dirimu menjadi muslimah yang akan menjadi wanita yang dirindukan surga. Janganlah berubah karena keterpaksaan, berubah karena Allah. Jangan pernah menyerah untuk berhijrah meski suatu saat nanti orang-orang menghilang, karena selalu ada Allah disetiap langkah yang kau ambil.” Nasihat nenek sambil sedikit terbatuk-batuk. Akupun melepas pelukan itu dan tersenyum manis ke arahnya. “Eiittss… jangan lupa untuk tersenyum kepada sesama dan tundukkan pandanganmu pada yang bukan makhrommu.” Lanjutnya dengan nada yang tegas. “Iya nek, Ara sayang nenek.” Ucapku sambil memeluknya kembali.

Setengah jam kemudian, di sinilah aku. Di sebuah pesantren mungil yang berada di ujung kota. Kulihat lalu lalang para santri putri yang memakai almamater pesantren tersebut. Ada sesuatu di dalam tubuhku yang bergetar ketika melihat para santri yang berlalu-lalang tersebut. Akupun terlonjak ketika kurasakan tangan mungil kakakku melingkar manis di bahuku. Rasanya diriku sulit untuk melepaskan kenyamanan yang telah diberikan keluarga kecilku ini. Meski sifatku yang cuek kepada teman-temanku tapi aku takkan pernah lupa bahagia bila dengan keluargaku karena hanya mereka yang mampu membuatku nyaman. Setelah menitipkanku ke pak kyai dan bu nyai, bunda dan Kak Syifa pamit untuk pulang. Disini santri putri dan putra berbeda tempat, yang putri yang kutempati ini dan yang putra berada dua ratus meter dari pesantren putri. Hal itu yang kudengar dari para pengasuh kepada bundaku tadi. Para pengurus mengantarkanku menuju ke kamar yang berada di lantai dua. Di lantai dua aku merasa berada di rumah pohon, bagaimana tidak apabila dari tangga, lantai sampai dinding pembatasnya terbuat dari kayu. Kulihat pesantren ini sangat kecil dan terdiri dari tiga tingkat. Aku berada di kamar ini karena di dalamnya terdapat Kak Diyah, sepupuku. Aku membereskan pakaianku pada almari kecil yang sudah bertuliskan namaku. Beberapa saat kemudian, banyak santri yang mulai mengerubungiku. Ada apa ini? Merekapun mulai memperkenalkan diri mereka. Tapi aku yang masih bingung hanya bisa menatap mereka sambil mengernyitkan dahi. Mereka yang kelihatannya gak nyaman denganku mulai pergi dari kerumunan itu dan menyisakan satu santri dengan gamis berwarna biru terang dan jilbab hitam yang melekat sempurna di wajah ayunya. Tiba-tiba santri tersebut mengajukan tangannya, akupun menyambutnya dengan gugup. Dia mulai berbicara, “Assalamu’alaikum ukhti, perkenalkan nama ana Marshilatul Madiva. Ukhti bisa panggil ana Shila.”

“Ma.. maaf sebelumnya. Tapi nama saya bukan ukhti.” Ucapku agak gugup takut salah. Kulihat dia tersenyum lucu, “Afwan. Maksud ana ukhti itu bahasa arab dari saudara perempuan, ana itu artinya saya, dan afwan itu artinya maaf.” Ucapnya sambil memperlihatkan lesung pipinya. Tak kurasa aku ikut tersenyum melihatnya. “Emang harus gitu ya?” tanyaku. Diapun mengernyitkan dahi tanda tak paham, “maksud kamu? Eh maksud kamu?”

“Emang harus pakai bahasa campur-campur kayak gitu? Disini gak wajib kan pake bahasa arab?” tanyaku takut-takut. “Kan aku gak bisa bahasa arab sama sekali. Tapi bodoamat lah, siapa juga yang mau ngomong sama aku kalo bukan dia.” Ucapku dalam hati sambil melirik ke arah orang yang sok kenal sok dekat bernama Shila itu.

“Tidak, kamu disini bebas pakai bahasa apa. Tapi khusus kepada pak kyai dan bu nyai kamu harus pakai bahasa jawa yang halus. Karena itu adalah tata krama kita kepada para pengasuh.” Jawabnya dengan bahasa Indonesia yang mudah kemengerti. “Terus, kenapa kamu tadi bicara pake bahasa arab campur bahasa Indonesia?” tanyaku penasaran. “Di tempat ini memang begini, nanti lama-kelamaan kamu juga terbiasa menggunakan bahasa arab. Aku juga masih belajar sedikit-sedikit.” Ucapnya sambil tersenyum tulus. “Ngomong-ngomong kenapa aku malah banyak bicara seperti ini?” teriak batinku.

Malam harinya, Shila mengajakku ke balkon panjang yang langsung menghadap ke langit malam yang indah dengan gemerlap bintang. “Ukhti Ara.” Panggil Shila membuatku menoleh ke arahnya. “Kudengar kamu sepupunya Kak Diyah ya? Tapi mengapa ana merasa ia tak pernah mencoba berbicara dengan kamu?” tanyanya dengan tatapan polos. Aku menghembuskan napas pelan, “Aku sendiri tidak tau, Shil.”

Aku tak pernah tau, sedari kecil Kak Diyah selalu begitu. Entah apa yang tak ia suka dari diriku. Seakan dari kecil aku selalu salah. Aku yang sudah tak ingin memikirkan itu lagi, meninggalkan Shila menuju ke arah kamar kayuku. Mungkin Shila sudah mulai mengerti sikap cuekku untuk saat ini. Tapi memang inilah aku. Sesampainya di kamar, ada sekitar tujuh santri yang berada didalamnya termasuk Kak Diyah. Aku masuk dan duduk di depan almariku. Ku dengar mereka sedang membicarakan seorang anak dari pengasuh pesantren. Tapi apa urusanku? Aku yang tak mengerti kemana arah pembicaraan mereka mulai terlelap dalam posisi duduk.

Sudah sekitar satu bulan aku berada di pesantren mungil ini. Aku mulai terbiasa dengan bahasa arab-indonesia kepada ukhti-ukhti, bahasa jawa halus kepada pengasuh, antrian mandi dan makan, baca Al-Qur’an dan kitab kuning, dan kegemaran baruku yang membuatku dipanggil para ustadz dengan sebutan “Ummu Naum” dan “Ummu Akl”. Bagaimana tidak mengantuk setiap saat? Aku baru tidur pukul sebelas malam selesai ngaji malam dan terbangun pukul dua untuk melaksanakan sholat tahajjud jamaah. Setelah sholat tahajjud, semua santri putri disini melanjutkan membaca yassin tiga kali secara serempak. Setelahnya santri bebas selama setengah jam untuk mandi, sahur bagi yang berpuasa, ataupun memantapkan hafalan di musholla kecil di lantai dasar. Dan sudah sebulan ini, Kak Diyah masih enggan berbicara panjang lebar denganku.

Pagi ini, aku kebagian jadwal membeli bahan makanan ke pasar yang tak jauh dari pondok mungkin sekitar tiga ratus meter. Aku mengajak Shila, ya sampai sebulah ini hanya Shila yang mau berbicara denganku. Karena tak ada yang betah denganku yang cuek ini. Setelah selesai belanja, aku mulai keluar dari pasar dengan dua tangan yang penuh dengan bahan makanan. Tapi saat hampir keluar, aku tak sengaja menabrak seseorang karena bawaanku yang terlalu berat. “Astaghfirullah.” Ucap kami bersamaan. Semua bahan makanan pun jatuh berserakan di tanah, aku mulai memunguti belanjaanku. Sambil berkali-kali berucap “Afwan ya akhi”. Ya seperti yang kalian fikirkan, aku tak sengaja menabrak seorang santri putra. “Ana yang harus minta maaf karena ana yang terburu-buru.” Ucapnya sambil membantuku memunguti belanjaan. Hal itu membuatku semakin menundukkan kepala karena teringat pesan nenek. Saat sudah beres, aku langsung berlari menuju ke Shila yang sedang membeli beras. Entah, darahku berdesir saat sadar melihat senyum tercetak pada bibir santri putra tadi.

“Sudahkah ukhti?” tanya Shila mengagetkanku. Akupun menoleh ke arah Shila, sontak kulihat Shila tertawa manis. “Kamu habis ngapain? Kok pipinya jadi humaira-humaira gini?” Ucapnya membuatku melotot. Apa benar pipiku merah? Malunya aku.

Dua bulan berlalu, Sudah tiga bulan bunda dan Kak Syifa tak menjengukku. Tapi seminggu lalu, nenek menjengukku bersama sopirnya. Saat aku bertanya kepada nenek, nenek hanya berkata ‘Mereka baik-baik saja, Dek’. Kali ini aku mendapatkan jadwal ro’an untuk membersihkan halaman depan. Saat berada di bawah pohon belimbing samping ndalem, ada sebuah motor yang berhenti tak jauh dariku. Saat aku mendongak, degup jantungku berpacu. “Dia lagi.” Ucapku dalam hati. “Assalamu’alaikum ukhti, apa pak kyai ada di ndalem?” ucapannya membuatku terlonjak. “Waalaikumsalam akhi. Iya, Abah ada di dalam.” Ucapku sambil menunduk. “Ukhti, saya boleh tau nama ukhti?” tanyanya malah membuatku terdiam. “Tidak boleh ya.” Ucapnya membuatku merasa bersalah. Aku menghela napas lalu berkata, “Hazra.” Ucapku singkat. Dan ketika kulihat halaman sudah bersih, akupun begegas meninggalkannya. Tak baik apabila ada seorang wanita berada di dekat seorang pria yang bukan mahromnya. “Gilang” teriak santri putra itu dengan lantang. Padahal kan aku gak tanya. Aku yang sempat terhenti akhirnya melanjutkan perjalanan menuju ke asrama pesantren. Setelah meletakkan sapu lidi ke tempatnya, aku naik menuju ke kamar kayuku. Aku berniat membersihkan kamar. Tapi saat baru saja masuk, Kak Diyah langsung menyeretku menuju ke dinding dengan keras yang membuat suara ‘Dugh’ dengan keras. “Kenapa kau selalu merebut kebahagiaanku, Ara.” Pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. “Kebahagiaan apa, Kak?” tanyaku sambil menahan sakit di punggungku. “Jangan bicara sedikitpun. Aku akan menceritakan semuanya.” Ucapnya dengan nada serak, saat ku mendongak ternyata dia sedang menangis. “Sebelum kamu lahir, aku adalah cucu kesayangan nenek. Tapi tak lama, saat menginjak madrasah ibtidaiyah aku merasa kasih sayang nenek berpindah ke dirimu. Bahkan almarhum mamaku juga sama. Aku bingung, apa yang membuat mereka selalu memperhatikan dirimu yang tak pernah tau agama ini.” Ucap Kak Diyah membuat hatiku sakit. “Kamu memperoleh semuanya. Bahkan mereka semua menitipkanmu padaku, memangnya aku siapa? Bodyguardmu? Dan sekarang kau merebut kebahagiaanku lagi, Ra. Kau merebut Gus Gilang dariku. Apa yang dia lihat dari gadis cuek sepertimu?” Ucapnya membuatku kalut karena tangisnya yang semakin deras. “Kau bahkan belum tau tentang suatu hal. Bunda dan Kakak kesayanganmu telah meninggal seminggu setelah kau dititipkan di pesantren ini.” Ucapannya membuatku yang berdiri melorot memeluk lututku. Jadi itu alasannya mengapa mereka tak pernah ke sini? Karena mereka tak bisa menjengukku selamanya. Mengapa semua merahasiakan ini? Bunda… Kak Syifa… Ara kangen. Ucapku menangis dengan memeluk kedua lututku.  Di umur delapan belas tahun ini, aku kembali merasakan kehilangan. Anggap saja aku memang egois, tapi aku memang tak mau sendiri. Kudengar suara pintu tertutup dengan keras. Kurasa Kak Diyah sedang meredakan emosinya sekarang.

Dua jam setelah penjelasan Kak Diyah, semua santri putri meminta maaf kepadaku atas perlakuan mereka. Mereka juga berkata bahwa sedari tiga bulan yang lalu mereka ingin berteman baik denganku tetapi Kak Diyah selalu meminta mereka menjauhiku. Ini juga tak semua kesalahan Kak Diyah, karena aku tahu bahwa hatinya kalah dengan hasud. Semua santri putri juga tau bahwa bunda dan kakakku meninggal seminggu setelah aku nyantri di pesantren kecil ini tetapi mereka tak ada yang memberi tau diriku termasuk Shila.

Shila saat ini tengah memelukku yang masih menangisi orang tersayangku di balkon. “Afwan ya, Ra. Ana gak bermaksud buat bohong. Ana hanya tidak mau kamu bersedih.” Kata Shila semakin memelukku erat. “Tapi setidaknya ukhti tak usah ikut berbohong kepada ana. Dengan kebohongan ini malah ana merasa sangat sakit. Lebih baik jujur meski itu menyakitkan.” Kataku dengan tatapan masih terkunci oleh langit yang cerah. Kurasakan ada dua tangan lagi yang memelukku erat, “Maafin kakak juga, Dek.” 

Dua tahun lebih delapan bulan kemudian, Di pondok mungil yang letaknya diujung kota ini. Aku berhasil wisuda hafalan. Tak mudah untuk menggapainya, oleh karena itu aku akan mempertahankannya. Dan proses menggapainya dipenuhi oleh godaan-godaan yang tak terduga. Tapi Alhamdulillah aku mampu melewatinya. Selama tiga tahun belajar di pesantren ini, aku menemukan semua hal yang tak bisa kucapai saat sebelum aku nyantri. Dari sahabat sampai ilmu agama yang sangat mulia ini. Aku memang masih belum bisa menjadi muslimah terbaik, tapi aku yakin dengan usaha semua akan ada hasilnya. Selama tiga tahun ini juga aku terkadang nakal sehingga membuat Kak Diyah dan Shila menghela napas kasar karena ulahku. Aku sering terkena ta’zir dari para pengurus bahkan pernah dari pengasuh karena gelarku yang sangat cantik yaitu Ummu naum dan Ummu Akl. Tapi memang ini lah diriku, aku bukan manusia yang tak luput dari salah dan lupa. Bahkan ta’zir yang sangat membekas di pikiranku ketika aku terkena ta’zir karena ulah anak dari pengasuh pesantren putra. Saat itu aku di guyur oleh bu nyai dengan air comberan yang sangat bau. Tapi aku hanya mendapatkan satu guyuran karena sang Gus meminta itu kepada Ummi mengingat perempuan harus dimuliakan. Mulai saat itu, aku merasakan sesuatu yang aneh bila bertemu dengan Gus Gilang. Aku tau apa namanya, tetapi aku lebih memilih untuk memendam perasaan ini. Aku terinspirasi oleh cerita Ali dan Fatimah. Aku hanya bisa berdoa di sepertiga malam terakhir kepada Allah.

“Kepada Hazra Aizha dipersilahkan untuk menuju ke atas panggung.” Ucap pembawa acara yang membuatku sadar. Akupun dengan segera menuju ke atas. Setelah berada di atas para pengasuh mulai membacakan suatu ayat yang berasal dari Al-Qur’an dan akupun melanjutkan ayat tersebut sampai tiga ayat kedepannya. Tidak hanya ada satu penguji tapi ada Sembilan penguji dan yang terakhir adalah Gus Gilang. Ia tak membacakan ayat tapi dia hanya menyuruhku untuk melafadzkan suatu ayat yang sangat tak asing di bibirku ‘Ar-Rum ayat 21’. Aku menutup mataku dan mulai melafadzkannya. Setelah selesai akupun menuju ke arah pengasuh pesantren putra-putri dan pemilik pesantren untuk mendapatkan piagam hafalan. Setelah itu akupun turun ke tempat dimana Nenek Rahma, Kak Diyah dan anaknya. Yah, Kak Diyah telah menikah dan mempunyai satu anak laki-laki yang sangat menggemaskan. Sebulan setelah kejadian dimana Kak Diyah menjelaskan kejengkelannya, ada seorang Gus datang ke rumah nenek untuk meminangnya. Dan Gus  itu adalah putra dari pengasuh pesantren kecil ini yang sudah empat tahun belajar di Kairo. Aku memeluk nenek dan Kak Diyah dengan erat, mereka adalah keluarga yang sangat kusayangi. Aku tak menyangka sikap cuekku hilang tak bersisa, malah aku yang sekarang terkenal sebagai gadis yang cerewet.

Ketika acara ini selesai, aku berlari menuju ke Shila dan memeluknya. Dia adalah sahabat terbaik selama aku hidup nyantri di pondok mungil ini. Kami pun berfoto mencoba mengabadikan hari bahagia ini. Aku tersenyum senang, apalagi saat mengingat Gus Gilang yang menyuruhku membaca ayat tentang kebesaran Allah dalam menciptakan hidup berpasang-pasangan pada makhluk-Nya.

“Terimakasih bunda, Kak Syifa, dan Nek Rahma berkat kalian Ara bisa berubah menjadi muslimah yang baik. Meski dalam perjalanannya sangat membuat Ara sangat sakit. Tapi orang sukses butuh perjuangan. Dan maafkan masa lalu Ara yang sangat menjengkelkan. Dan terimakasih lagi karena telah menggiring diri Ara untuk masuk ke dalam pesantren mungil ini. Tempat dimana Ara berubah karena Allah.” Ucapku dalam hati sampai tak mengira ada yang jatuh meluncur di pipiku. Ara sayang kalian.

Hingga suatu kalimat membuatku membeku di tempat.

“Hazra Aizha, maukah kau menyempurnakan separuh agama bersamaku Muhammad Gilang Ubaidillah?”

Tamat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar