Cari Blog Ini

Jumat, 18 Oktober 2019

You Are not My Sibblings karya Indanarizha_




You Are not My Sibblings karya Indanarizha_



Erdian, dia adalah sepupu laki-lakiku, dialah yang membuat hari-hari di masa kecilku terasa begitu berwarna. Ia selalu mengajakku bermain, selalu ada setiap aku membutuhkannya sampai aku mengira kalau diriku tak mau hidup tanpanya. Tetapi itu dulu, sekarang aku benar benar membencinya.
“SUDAH CUKUP!! Jika kamu tidak mau membantu, maka akan ku lakukan sendiri! Ku kira kamu itu baik tapi ternyata tidak! JANGAN GANGGU AKU LAGI, BODOH!!!” bentakku ke Erdian 2 bulan yang lalu karena ia tak mau mendukungku dikala aku jatuh cinta dengan seseorang.
Selepas hari itu Erdian tidak menampakkan wajahnya sama sekali, ibunya mengatakan ia selalu mengurung dirinya di kamar, hanya keluar jika waktunya makan dan jika ia ingin ke kamar mandi, selama 2 bulan ia mengunci dirinya bahkan terhadap ibundanya sendiri. Tapi itu bukan urusanku, aku tidak ingin dia mengganggu kehidupanku lagi.
Dan orang yang kusukai dari dulu adalah “Rhomad” ucapku pelan sambil tersenyum riang. Entah bagaimana ia bisa mengikat hati kecilku, ia adalah seorang yang special di mataku layaknya bangsawan, rambut coklat lurusnya, tinggi 168 cm, golongan darah AB, memakai kacamata hitam, dan selalu membawa buku tebal kemana-mana, dia juga sangat pintar selalu mendapat urutan pertama dengan nilai yang hampir sempurna. “Duuuhh...” gumamku karena terlalu memikirkannya.
Akhir November, kali ini aku akan menyatakan perasaanku yang telah lama kupendam, aku sudah mempersiapkan semua dari kemarin. Di sekolah semua teman sekelasku terheran heran kenapa aku senyum-senyum sendiri, ketika ada yang tanya selalu ku jawab “Nggak kenapa kenapa kok”. Aku tak ingin memberitahukan kepada siapapun rencana hari ini, bahkan kepada sahabatku sendiri, Cyra. Walaupun Cyra akan merahasiakannya tetapi aku tidak ingin seorangpun ikut campur di hari yang sangat mendebarkan ini.
Sore hari keaadan cuaca sedang mendung gelap, dan aku melihat Rhomad masih di sekolah dan ia sedang baca buku yang selalu ia bawa kemana mana, sebelum sekolah ditutup aku harus menyatakan perasaanku kepada Rhomad. Dengan penuh keberanian aku memasuki ruang kelasnya dan langsung menghampirinya.
“A-Anu, pe-permisi, Rhomad aku ada se-sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu.” ucapku gugup. Tetapi ia tidak berbicara sepatah katapun hanya diam hening dan menatapku dengan tatapan bosan. Tetapi akan kusampaikan saat ini juga perasaanku “Rhomad!” dengan nada sedikit menyentak agar dia lebih memperhatikanku.
 “Sebenarnya aku dari dulu meny-“ belum selesai aku berkata, dia langsung berbicara dengan tegasnya, “Kamu ini siapa aku tidak pernah melihat wajahmu?” langsung kujawab walau dengan gemetar disekujur tubuhku “Aku dari kelas sebela-“ “ohh, kamu ini mendapat peringkat berapa hasil tes kemarin” tanyanya dengan cepat. “A-Aku di urutan 95” jawabku gugup bersamaan dengan mendung yang kini berubah menjadi tetesan-tetesan air mata langit yang berjatuhan dan aku masih saja tidak bisa berkata lantang.
 “cih... buang buang waktu saja berbicara dengan orang yang tingkatannya cuma segitu” dia langsung berdiri dan mengemasi barangnya. Tetapi aku belum menyerah, kudekati dia dan tak sengaja ujung telunjukku menyentuh buku yang biasa  ia bawa kemana-mana, “JAUHKAN TANGAN KOTORMU ITU, orang rendahan sepertimu tidak pantas menyentuh buku ini, buku ini hanya diperuntukan untuk orang yang setingkat denganku!!” sentaknya dengan penuh penekanan.
Seketika petir menyambar pada penglihatan dan pikiranku. Betapa kagetnya aku dengan perkataannya, orang yang selama ini kukagumi ternyata berbeda dengan yang kubayangkan. Spontan aku melangkah mundur, tanpa sepatah katapun ku berlari meninggalkan kelas itu dan menutup mata dengan lenganku agar ekspresiku tidak terlihat oleh dia.
 Ku terus berlari hingga ke lapangan belakang sekolah dan melampiaskan semua kejengkelanku di sana. Gerimis kini menjadi hujan lebat, entah kenapa seketika aku teringat sepupuku diwaktu seperti ini.
 “Tidak,,, aku tak ingin mengingatnya lagi...” *khz*khz* mungkin air mataku ini sudah tertutupi oleh hujan. Beberapa menit aku berdiam di situ, dan akhirnya aku mendengar langkah seseorang yang mendekat, lalu ia menghalau tetesan air hujan, suaranya seperi air hujan yang terkena payung “mungkin ini payung” ujarku dalam hati. Ini mungkin saja Rhomad tetapi tidak mungkin ia akan begini setelah kejadian tadi. “Maaf” ucapku pelan.
“Oi bodoh, apa yang kau lakuakan disini?” suara ini, suara yang lama tak kudengar, “Erdian?” untuk memastikan apa yang ku dengar salah atau tidak “Ayo bangun bodoh, tunggu apa lagi, ayo pulang, aku bawa payung dua” tanpa membalasnya langsung saja aku memeluknya dengan erat dan menangis sekencang kencangnya, orang yang bisa mengerti aku hanya dia seorang.
 “Ehh, ada apa ini?” tanpa memberi penjelasan padanya, aku terus saja memeluknya sambil menangis. Setelah beberapa saat ku akhiri tangisan ku dan berdiri, mengambil payung dari tangan Erd dan pulang bersama, aku masih tidak bisa terima kejadian di kelas tadi, jadi aku berjalan dengan memegang ujung baju Erd agar aku merasa lebih baikan.
Sesampai rumah mamaku langsung menghampiriku “Ya ampun, kamu kenapa sih kok basah kuyup seperti ini” mamaku masih terfokus padaku tetapi tidak menyadari kehadiran Erd.
 “Lo nak Erd, kamu akhirnya keluar dari rumah!?” beliau menyadarinya “Iya te, kalau begitu Erd  pulang dulu ya.” Jawab Erd dengan sopan.
 “iya iya, hati hati di jalan, makasih nak” teriak ibuku “Sama-sama te” senyumnya yang ramah mengingatkanku betapa baiknya Erd. Mamaku tidak habis pikir, langsung membawakan handuk dan membereskan barang barangku “kamu ngapain aja sih, sampai tas kamu basah semua” khawatir mamaku “cuman kehujanan kok” jawabku bohong “jangan lakukan lagi lo nanti sakit, ingat minggu besok kamu ada ujian semester lo.” Nasihat mama kepadaku “iya ma..”
Keesokan harinya aku sudah kembali ke diriku yang biasanya, tatapi di dalam hatiku masih ada sedikit keganjalan tentang Rhomad, yaitu aku membencinya tetapi aku tidak bisa menolak untuk menyukainya. Namun, aku harus fokus untuk ujian kali ini, tidak boleh mengecewakan orang tua ku. Disisi lain untuk Erd aku sudah mulai untuk memaafkannya. Dan ujian semester datang juga..
Dua minggu kemudian pengumuman hasil ujian telah diumumkan, aku berhasil naik peringkat menjadi 63, semua ini berkat kerja kerasku, tapi aku selalu saja kepikiran tentang Rhomad saat belajar, itu sangat menggangguku >.< .
 Saat berangkat ke sekolah tadi tak sengaja kulihat sebuah kardus yang tergeletak di sisi jalan, saat ku ingin memindahkannya ternyata didalamnya terdapat dua ekor anak kucing kecil, yang satu berwarna hitam dan yang satunya warna putih. Di bagian dalam kardusnya tertulis “Tolong rawat mereka” tetapi aku tidak bisa sekaligus tidak mau memungut kedua anak kucing itu, karena itu mengingatkanku dengan kucingku yang mati 8 tahun yang lalu. Jadi mereka aku taruh kembali ke kardus dan lebih meminggirkannya, agar aman dari kendaraan yang lalu lalang.
Baru kusadari bahwa papan pengumuman kali ini terlihat lebih ramai dari pada sebelumnya, dan disana ada Rhomad. Entah kenapa ia terlihat begitu kesal, begitu kudekati dia, dan memegang bahunya, “Minggir!!” ucapnya sambil kesalnya. Aku penasaran apa yang terjadi, setelah ku lihat di papa pengumuman ternyata bukan Rhomad yang mendapat nilai tertinggi, tetapi Erdian... karena kaget aku tidak bisa bergerak, aku terheran heran, orang yang selama ini nilainya dibawah nilaiku bisa mendapat nilai tertinggi di angkatan kami.
Langsung aku berlari mencari Erdian tetapi aku tidak bisa menemukannya, akhirnya aku ke perpustakaan dan aku mendengar teriakan dari depan perpus “Apa maumu hahh!!” itu suara Rhomad!, kupercepat lariku da kulihat bahwa Rhomad sedang menarik kra baju Erdian. Tetapi aku terlalu takut untuk mendekat, jadi aku lihat dari kejauhan. “Apa maksutmu dari semua ini!! Apa kau punya masalah denganku!! Beraninya kau orang rendahan!!” ucap Rhomad dengan kerasnya, waktu itu tidak ada guru yang menjaga perpustakaan sehingga mereka tidak ada yang melerai.
Mengingat perkataan Rhomad ke Erd, entah membuat ku terasa begitu kesal, lebih kesal daripada saat aku ditolaknya. Tubuhku bergerak sendiri menuju mereka berdua, dengan cepat tangan ku menampar Rhomad sekeras kerasnya *PLAK* seketika cengkraman Rhomad ke Erd dilepas dan mundur beberapa langkah “Apa yang kau lakukan HAHH!!!” ucapnya tidak terima “mengatakan orang yang lebih tinggi darimu itu rendahan? Bukankah itu perkataan seorang pengecut” jawabku “Ada apa disana kok ramai?” tedengar seorang guru datang “Cihh, awas kalian akan ku ingat ini” ujar Rhomad dan meninggalkan kami berdua.
“Kenapa kamu tadi tidak melawan Erd!!? Sentakku pada Erdian “Untuk apa? Aku tidak punya urusan dengannya.” “Terserah deh, ayo pulang bareng untuk jaga-jaga, bisa saja si Rhomad itu datang lagi nyariin kamu” sentakku bawel, tapi itu kelihatannya tidak pengaruh terhadap Erd, dia malah biasa saja gitu nggak ada rasa bersalah sama sekali apa?. “PPfftt... ppfft pfft...” entah kenapa mendengar Erd seperti itu membuatku jengkel “Apaan sih kamu!? Udah gila ya?” jujur aku agak geli ngelihat dia begitu. “Nggak kok, Cuma heran saja. Kamu hari ini sedikit agresif kayak ikan buntal yang sering ngembang pipinya” kali ini Erd benar-benar gila.
Keesokan harinya, aku berangkat sekolah bersama Erd. Disepanjang perjalanan menuju kelas, kami bercanda tak henti-hentinya sehingga membuat banyak orang yang bertatap iri. Sesampainya didepan kelasku, Erd berpesan bahwa pulang sekolah nanti kita akan pulang bersama seperti biasanya. Setelah menyampaikan pesan tersebut Erd langsung meninggalkanku dan menuju ke kelasnya.
Sesampainya di tempat dudukku, Cyra menatapku dengan tatapan menyelidik. Seolah-olah jika tak ditatap setajam itu aku akan hilang dalam sekejap mata. Karena tak tahan dengan tatapan tajamnya akupun berkata, “Huft…Kamu kenapa sih,Ra?” karena tak kunjung mendapatkan jawaban akupun bertanya lagi dengan nada yang naik beberapa oktaf, “Ra, kamu kenapa sih natap aku sampe segitunya?”
Beberapa saat kemudian Cyra berkata, “Kamu deket banget ya sama Erdian.”
“Aku sama Erdian sudah deket dari kecil. Kita udah terbiasa bersama.” Kataku dengan mudahnya. Tiba-tiba pernyataan Cyra membuatku sesak, “Aku pikir kamu pacaran sama dia.”
“Gak mungkinlah, aku sama dia udah deket dari kecil.” Sanggahku sambil mengeluarkan handphone dari dalam tas. Kulirik Cyra sedang ber-o ria pada jawabanku.
            “Kenapa ya Cyra tiba-tiba tanya gitu ke aku? Atau jangan-jangan…” batinku sambil melirik dan menunjukkan senyum mengejekku.
“Ra… kamu pulangnya bareng aku dan Erd ya. Kita kan sejalur.” Ajakku kepada Cyra bersamaan dengan Erd yang berjalan menuju kearah kami. “Ta…tapi…” tanpa menghiraukan perkataan Cyra, aku langsung mendorongnya agar ikut menaiki angkutan umum yang biasa aku tumpangi bersama Erd.
Cyra duduk disampingku dan Erd duduk tepat di depanku. Tiba tiba Erd bertanya kepadaku, “Kamu udah baikan?”. Cyra yang mendengar ucapan Erd mulai ikut menatapku, “Emangnya kamu kenapa?”. Mau tak maupun aku menceritakan kejadian dimana aku menyatakan perasaanku kepada Rhomad.
Setelah mendengar ceritaku secara keseluruhan. Cyra menunduk dan berkata, “Sebenarnya buku yang selalu Rhomad bawa kemana-mana itu adalah buku karangan ibunya. Buku itu sempat kubaca tanpa sepengetahuan Rhomad. Dibuku itu menceritakan tentang betapa kerasnya suatu kehidupan. Jadi mungkin itu penyebab dari sikapnya sekarang ini.”
 “Beberapa tahun yang lalu tepat pada acara kelulusan waktu sekolah dasar, Rhomad mendapatkan nilai tertinggi seangkatan. Terlihat sekali bagaimana bahagianya dia. Setelah menerima bukti kelulusan, Rhomad berlari kencang menuju rumahnya yang tak jauh dari rumahku untuk memberitahu ibundanya atas prestasinya. Tapi baru beberapa menit dia memasuki rumahnya. Terdengar teriakan yang amat pilu sampai ke gendang telingaku. Akupun bergegas menuju ke luar rumah, banyak warga yang berlarian menuju ke rumah Rhomad. Aku yang memiliki rasa ingin tahu tinggi segera menuju ke rumah Rhomad. Dan yang membuatku membeku adalah ketika kulihat bunda Rhomad terbujur kaku di tempat tidur.” Cerita Cyra membuatku membeku dan menggigit bibir bawahku membayangkan kehidupan seorang Rhomad yang begitu kacau. Dan yang ada di pikiranku saat ini adalah alasan Rhomad ingin memukuli Erd.
            Keesokan harinya, aku duduk sendiri karena Cyra sedang tanpa keterangan. Seharian ini berjalan dengan lancar, meski pikiranku masih berkelana pada kejadian dimana Cyra menceritakan masa lalu seorang Rhomad, Penyebab Rhomad yang dingin dan selalu ingin menjadi yang terbaik, dan penolakan cinta Rhomad kepadaku. Semua hal itu terputar bagai bioskop di pikiranku.
            Sehari kemudian, sudah kulihat Cyra duduk di bangkunya. Aku pun mendekatinya dan berkata, “Ra, kemarin kenapa kamu tidak masuk sekolah tanpa keterangan pula? Kamu lagi datang bulan?”.
“Nggak kok, Cuma sedikit pusing aja.” Ucapnya sambil nyengir. Akupun tak mencoba bertanya lagi karena guru mata pelajaran matematika sudah masuk ke dalam kelas.
Waktu bel pulang sekolah berbunyi, Cyra dengan cepat mengemasi barang-barangnya dan belari keluar tanpa menyapaku. Aku yang penasaran akhirnya mengejar Cyra yang berjalan setengah berlari. Sesampainya di dekat aula, aku melihat Erd dan Cyra sedang berhadap-hadapan seperti sedang membicarakan sesuatu. Terlihat nada bicara Erd seperti datar sedangkan tubuh Cyra mematung dan terlihat wajahnya tiba-tiba pucat. Tiba-tiba kulihat Cyra mengeluarkan handphone dan langsung berlari menjauh dari tempat itu. Sebelum itu kulihat Cyra berbicara singkat kepada Erd.
Kucoba mengejar Cyra tapi ketika sampai pada persimpangan koridor Cyra sudah menghilang. Ketika aku akan berbalik tiba-tiba Erd sudah berada didepanku dengan senyum manisnya membuatku terpekik kecil. “Eh... kok tiba-tiba ada disini? Tiba-tiba muncul kayak pocong aja.” Sindirku. Dia hanya nyengir. “Erd… ngomong-ngomong kenapa Cyra lari?” tanyaku kepada Erd. “Katanya tadi udah dijemput maminya.” Katanya kepadaku. Tapi firasatku mengatakan lain, biarlah aku percaya saja pada Erd. “Yaudah ayo kita pulang!” ajak Erd. Kamipun mulai menuju ke gerbang untuk menunggu angkutan umum.
Keesokan harinya, aku duduk sendirian lagi karena Cyra tiba-tiba alpha lagi. Tadi pagi aku mencoba meminta maaf kepada Rhomad dengan pernyataan cintaku tempo hari. Tapi dia malah membalas acuh. Meskipun begitu aku akan terus meminta maaf kepada Rhomad sampai ia memaafkan diriku.
Sudah seminggu kegiatan meminta maafku kepada Rhomad, tapi Rhomad masih mengacuhkan diriku. Seolah-olah aku tak pernah bicara apa-apa kepadanya. Hingga tiba-tiba Rhomad membentakku, “KENAPA KAMU NGELAKUIN INI? KAMU GAK ADA KERJAAN SELAIN NGERECOKI AKU?”
Saat aku ingin bicara, tiba-tiba seseorang laki-laki datang dan memundurkan diriku untuk bersembunyi di belakangnya. Dan orang itu adalah… Erdian.
Erd melihat kearah Rhomad  dengan tajam dan berkata, “Apa? Mau berantem?”. Sedangkan Rhomad menghadap ke sekeliling seperti mencoba membaca suasana. “Jangan sekarang, tuh lihat masih ada guru. Lain kali aja kalau gak sibuk.” Ucap Erd dengan entengnya. “Cih, sudahlah! Aku sudah muak dengan kalian berdua!” jawab Rhomad karena jengkelnya pada Erd. “Kamu gapapa?” tanya Erd kepadaku yang sedari tadi terdiam di belakangnya. “A..Aku gapa..pa kok Erdd..” Jawabku gugup. “Sudah cukup, aku muak dengan kalian berdua.” Kata Rhomad sambil melesat pergi. Tiba-tiba ada sesuatu yang mengalir di pipi kananku tapi itu tak membuatku untuk cepat-cepat menghapusnya. Malah aku tak henti-hentinya melihat punggung tegap Rhomad yang mulai menjauh dan hilang ditelan tikungan koridor.
Tiba-tiba aku merasa ada yang menghapus jejak sang air mata. Saat ku menoleh kearah Erd, ia malah sibuk menghapus jejak air mataku dengan sapu tangannya. Diriku mematung aku merasa darahku berdesir, detak jantungku tak karuan, dan serasa ada banyak kupu-kupu di perutku. “Kamu kelilipan ya? Sampe jatuhin air mata.” Kata Erd langsung membuatku tersadar. “Eh… mana saputangannya!? Aku bisa hapus air mataku sendiri!” Ucapku sambil mengambil saputangan itu dan mulai menghapus jejak air mataku.
Tiba-tiba Erd bertanya, “Apa sih bagusnya Rhomad? Kalau dia gak bisa buat kamu bahagia. Aku mau bikin kamu bahagia. Kalau bisa, aku akan menikahimu suatu saat nanti.”  Setelah Erd mengatakan semua itu entah mengapa pipiku menjadi panas. Tanpa aba-aba aku langsung saja berjalan cepat tanpa menghiraukan panggilan Erd.
Sehari setelahnya aku datang pagi-pagi untuk menghindari Erd dan untuk bertanya kepada Cyra tentang sesuatu. Dan tepat sekali, Cyra sudah duduk manis di bangkunya. Akupun segera duduk di bangkuku dan menghadap kearah Cyra. “Ra… aku boleh tanya?” tanyaku hati-hati.Cyra hanya menganggukan kepala tanpa berkata. “Misalnya kita ngerasain ada desiran aneh pada darah kita, jantung kita yang berdetak diatas kecepatan normal, serasa ada kupu-kupu terbang yang menggelitiki perut kita, dan rasa malu yang membuat pipi kita menjadi agak panas. Kira kira itu apa ya?” Tanyaku yang membuat Cyra tiba-tiba tersenyum. “Itu.namanya.jatuh.cinta.” kata Cyra penuh penekanan pada setiap katanya.
Aku lantas tak bisa berkedip dengan jawaban singket Cyra. “Apa??? Aku jatuh cinta pada Erd? Sepupuku sendiri? Lantas bagaimana dengan Cyra yang menyukai Erd?” batinku
Kalau ini yang namanya cinta, lantas yang kurasakan kepada Rhomad itu apa? Apa hanya sekedar obsesi? Entahlah aku pusing memikirkannya.
Sudah lebih dari seminggu aku selalu diam kepada Erd, aku takut pada kenyataan bahwa ‘Aku mencintainya’. Tapi memang benar hidupku takkan berwarna apabila tanpa dia. Mungkin akan terasa hitam putih seperti TV jaman dulu, dan hambar layaknya sup tanpa garam.
Tiba tiba pintu rumahku terbuka dan menampakkan wajah lesu Erdian. Tunggu… Itu beneran Erd. Ketika aku akan berlari tiba-tiba Erd mencekal pergelangan tanganku. “Aku salah apa sih sama kamu sampai kamu diemin aku kayak gini?”Tanyanya dengan nada yang sangat memelas. “Aku boleh bertanya?” tanyaku hati-hati. Dengan cepat dia menggangukan kepala. “Apa alasan kamu masuk sekolah setelah 2 bulan mengurung diri di rumah dan tiba-tiba mendapatkan nilai tertinggi seangkatan? Dan apa alasanmu selalu bersikap lembut kepadaku?” Kataku kepada Erd.
“Sebenarnya semua hal yang aku lakukan itu adalah sebuah pembuktian perkataanku untuk menjadi seorang dokter hewan.”
Aku mematung… tiba-tiba kejadian 8 tahun yang lalu terputar kembali dalam benakku.
“Erd… kucing kesayanganku mati tadi pagi.” Kataku kepada Erd sambil menangis.
 “Kamu jangan nangis, Erd janji bakal jadi dokter hewan supaya kamu gak lihat hewan kesayanganmu mati lagi.” Janji Erd kepadaku.
“Terimakasih Erd.” Ujarku sambil memeluk erat Erd.
“Jadi karena alasan itu yang membuatmu melakukan semua ini?” Tanyaku kepada Erd yang sekarang berada tepat di depanku.
Dia menganggukan kepalanya. “Jadi mengapa selama 2 bulan menggurung diri di rumah?” tanyaku sambil menatap lurus kearah manik matanya. Dia tersenyum geli atas pertanyaanku.
“Sebenarnya waktu itu aku gak mau orang yang aku cintai menyukai orang lain selain aku. Aku takut apa yang kuperjuangkan selama ini akan sia-sia.”. katanya sambil tersenyum simpul. “A..Apa yang ka…kau perjuang…kan?” tanyaku mulai gugup.
“Kamu.” Satu kata yang berhasil membuat kupu-kupu menggelitiki perutku. Aku benar-benar telah dibutakan oleh obsesi selama ini. Aku tak pernah melihat orang yang berjuang mati-matian untukku. Mengapa aku harus mengejar orang yang tak mau dikejar? Harusnya aku menoleh ke belakang dan melihat orang yang selalu setia menungguku, bukannya terkungkung pada suatu harapan yang tak pasti.
“Jadi, dimasa mendatang kamu benar akan menikahiku?” Tanyaku kepada Erd.
“Iya… itupun kalau kamu mau.” Ucapnya sambil menundukkan kepala. “Siapa bilang aku mau?” Ujarku sambil menunjukkan senyumku. Erd yang sudah menundukkan kepala semakin menundukkan kepalanya. “Aku mau kok jadi istrimu.” Kataku dengan wajah yang sumringah.
Erdpun seketika akan memelukku, tapi tanganku mencoba menahannya “Stop! Itu tadi maksudnya aku tidak 100% ingin menjadi istrimu. “Hampir saja dia memelukku tadi, hanya butuh beberapa sentimeter aku akan tersentuh olehnya. “Ok aku mau menjadi istrimu asal kamu bisa menepati satu hal.” ini adalah alasanku agar dia tidak memelukku. “Baiklah akan kulakukan, apapun itu.” Jawabnya tidak sabaran. “Tepati dulu janji itu, maka aku akan bersedia menjadi pengantinmu Erd.”
Tanpa aku sadari dalam sekejap ia langsung memelukku, tapi kubiarkan dia untuk kali ini saja.
Beberapa minggu telah berlalu, hari-hari berjalan seperti biasa. Setiap pagi Erd selalu menjemputku dengan semangat menyilaukannya. Dan Cyra di kelas selalu memberiku sapaan hangat. Jika si Rhomad, aku sudah tidak tahu kabar darinya akhir-akhir ini, yah sudahlah sekarang aku sudah punya Erd jadi tak ada alasan untuk bersedih lagi.
Segala kebingungan ini telah memberiku suatu pelajaran apa arti dari cinta yang sesungguhnya. Rasa sakit, perih, pahit yang kualami selama ini bukan berarti hampa tak ada artinya. Dan akhirnya aku menyadari perasaanku kepada Erd. Seandainya Erd bukan sepupuku, maka aku akan merasakan perasaan ini dari dulu. Karena selama ini aku menganggapnya sebagai saudara bukan seorang seorang lelaki. Biarlah waktu yang akan menjawab perasaan kami berdua, apakah akan berjalan dengan lancar atau tidak. Kami tidak akan tahu.
“Andai dia bukan sepupuku.”
TAMAT.

Nb : Ini adalah sebuah cerita pendek hasil kolaborasiku dan temanku :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar